Ucapan syukur menjadi hal yang utama bahwa kita masih bisa
makan dengan baik, sehingga doa-doa diucapkan bagi orang-orang yang telah
menjadikan makanan itu hadir di hadapan kita. Perubahan nilai makanan yang kita
hadapi mengindikasikan adanya perubahan makna dan sikap. Masihkah doa-doa itu
layak diucapkan? Kita sulit mengimajinasikan, bahwa nasi di hadapan kita
mengandung doa dari para petani sebagai sebuah rantai makanan yang saling
menguntungkan. Nasi adalah harga yang harus kita bayar untuk hidup.
Nasi dalam lingkaran kapitalisme merupakan komoditas.
Tergambar dalam pamflet di pinggir jalan dan iklan televisi di tengah keluarga.
Nasi bersanding dengan ayam Amerika ataupun nasi dalam bungkus instan.
Instanisasi nasi hadir di tengah keluarga dalam berbagai bentuk dan rupa.
Bahkan, hanya dengan menekan angka-angka di telepon, nasi yang kita inginkan
akan mengetuk rumah kita setiap saat.
Sakralitas nasi hilang dalam nilai
efisiensi dan percepatan.
Dulu nasi tumpeng hanya akan hadir dalam peristiwa yang penting
dan sakral, serta tidak sembarangan orang untuk menikmatinya. Sekarang nasi
tumpeng dapat kita pesan dalam hitungan detik pada restoran cepat saji dan
bebas digunakan dalam peristiwa apapun. Masihkah doa-doa layak diucapkan di
depan sepiring nasi di meja makan kita?
Intinya, kita kehilangan nasi di piring, padahal itulah tanda
kehidupan yang diharapkan. Kita telah mendustai nasi karena kerakusan dan
kesombongan yang menyebabkan dunia hancur, serta kehidupan yang kita jalani
terasa hampa.
Kirimkan Saran anda Untuk NTT Melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........
No comments:
Post a Comment
Pesan Dan Saran Sangat saya Harapkan, Jangan Ragu berikan respon anda !, Saya mengucapkan terima kasih banyak