Tertawa menambah umurmu satu hari, melihat-lihat di facebook banyak artikel-artikel lucu tapi memiliki makna yang baik........Salah satu foto edit diambil dari account facebook Voglio Solo Amore sangat baik untuk dishare dan membuat saya tertawa terbahak-bahak....terima kasih telah menambah umur saya.....
Monday, June 12, 2017
Yuk Becanda (Tertawa menambah umurmu 1 hari)
Tertawa menambah umurmu satu hari, melihat-lihat di facebook banyak artikel-artikel lucu tapi memiliki makna yang baik........Salah satu foto edit diambil dari account facebook Voglio Solo Amore sangat baik untuk dishare dan membuat saya tertawa terbahak-bahak....terima kasih telah menambah umur saya.....
Share Article : Desa dan Pendekatan Pembangunan yang Relevan
Artikel Oleh
: Zamruddin Hasid
Desa harus jadi
kekuatan ekonomi
Agar warganya tak
hijrah ke kota
Sepinya desa adalah
modal utama
Untuk bekerja dan
mengembangkan diri
Walau lahan sudah
menjadi milik kota
Bukan berarti desa
lemah tak berdaya
Desa adalah kekuatan
sejati
Negara harus berpihak
pada para petani …
(Dikutip dari Lagu
Desa, karya Iwan Fals, 2005)
SEBUAH negara meliputi kumpulan wilayah perdesaan dan
perkotaan, bahkan Indonesia yang memiliki wilayah yang cukup luas, dibangun dan
bergantung dari wilayah perdesaan. Desa diibaratkan sebuah sumber yang
memercikkan “segala potensi alam” yang dikelola oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya. Petani, berharap banyak dari alam. Penambang, berburu isi dari
alam. Pelaut (nelayan), pergi berlayar mendapatkan hasil tangkapan dari alam.
Warga kota mengharapkan hasil alam dari desa (dari sektor pertanian) berupa
bahan makanan (food) dan bahan mentah (raw material). Dan, semua bermula dari
wilayah desa dan pesisir.
Di luar dari segenap urgensi keberadaan dan potensi alam yang
dimilikinya, Desa identik dengan ketertinggalan. Kita bisa menyimak betapa
mirisnya kehidupan perdesaan di daerah terpencil, misalnya Kalimantan, Papua,
dan Nusa Tenggara. Bahkan di wilayah maju seperti Pulau Jawa, wilayah desa pun
masih terbelakang. Betapa akses dasar begitu minim, yang membuat orang-orang
tak berdaya mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya. Namun,
sebaliknya kota begitu digdayanya. Infrastruktur massif di mana-mana. Gedung
tinggi menjulang, hiruk pikuk manusia berseliweran, hingga kriminalitas.
Ketertinggalan desa, secara konseptual disebabkan model
pembangunan yang belum tepat. Pola pembangunan trickle down effect yang
difokuskan ke wilayah perkotaan memang menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang
fantastis. Sayangnya, biaya opportunitas yang dikorbankan adalah ketertinggalan
wilayah lain, utamanya adalah wilayah perdesaan. Desa yang mayoritas
mengandalkan sektor ekonomi primer/tradisional (pertanian dalam arti luas)
justru termarjinalkan oleh kebijaksanaan ekonomi moderen.
Efek pertumbuhan di perkotaan, mendorong warga desa—yang
produktif—, berpikir realistis: mengadu nasib ke kota (urbanisasi). Praktis,
tenaga produktif desa yang merupakan motor penggerak pembangunan desa lenyap.
Beberapa penelitian juga menemukan fakta kurang berkembangnya kesempatan kerja
dan rendahnya produktivitas kerja di sektor ekonomi pedesaan berdampak
mengalirnya tenaga kerja usia muda terdidik ke wilayah perkotaan (Spare and
Haris, 1986; Manning 1992). Salah satu penyebab lambannya peningkatan
produktivitas tenaga kerja adalah lambanya peningkatan upah riil buruh
pertanian (Manning dan Jayasuria, 1996 ; White, 1992) atau mengalami stagnasi,
sementara itu upah riil non tani terus mengalami penurunan (Erwidodo dkk,
1993).
Kondisi demikian akhirnya hanya menyisakan angkatan kerja
yang belum layak kerja atau tak punya keterampilan memadai. Sektor ekonomi yang
tidak didukung sarana dan tenaga kerja memadai, praktis pula hanya menghasilkan
produktivitas (nilai tambah) yang kecil dan menimbulkan kemiskinan. Sudah
mafhum, bahwa realitas kemiskinan di negara ini direpresentasikan di perdesaan.
Umumnya mereka menjadi petani buruh atau pekerja serabutan di luar pertanian.
Banyak juga dari mereka jadi pekerja bebas (self employed), melakukan apa saja
untuk bertahan hidup. Dengan kondisi demikian—keterampilan dan lapangan kerja
sangat limited—, maka upah sangat rendah.
Desa dan Hegemoni Sistem Kapitalis
Sistem ekonomi kapitalis yang menjadi tools pembangunan
modern khususnya di perkotaan sekarang ini, sejujurnya—disadari atau
tidak—menghambat perkembangan desa. Desa hanya dijadikan wilayah penjajahan
gaya baru di mana segala potensinya (hasil alamnya) digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat kota melalui transaksi perdagangan.
Serupa yang dikatakan Sri Edi Swasono, “Ekonomi rakyat yang low cost mendukung
(mensubsidi) ekonomi besar di atasnya yang high-cost” (Lihat “Pembangunan
Menggusur Orang Miskin, Bukan Menggusur Kemiskinan –
http://www.ekonomirakyat.org).
Harus kita sadari, ketertinggalan pembangunan di perdesaan
muncul dari kekecewaan juga kecemburuan masyarakat perdesaan terhadap
moderennya kota. Inilah mengapa banyak sekali program-program pemerintah yang
kurang mendapat perhatian. Lantas, bisakah dengan keadaan demikian pembangunan
desa akan berhasil?
Idealnya, harus ada sebuah keseimbangan antara pembangunan di
perkotaan (urban) dan pembangunan di perdesaan (rural), terutama sekali juga
antara pembangunan sektor industri dan sektor pertanian. Istilah pertanian
tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan
perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan
kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani.
Strategi Membangun Desa: Fakta Empiris dan Kegagalannya?
Jika dilihat secara empiris. Pemerintah sejak era Orde Baru
(Pelita IV), sebenarnya telah mendorong sebuah program yang sangat baik:
Penempatan Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan (S-P3). Pemerintah sudah
menerjunkan lebih dari 4000-an sarjana ke desa dengan harapan mereka dapat
menjadi motivator, menciptakan lapangan kerja, menyuluh warga desa, mendidik
warga terkait industri rumah tangga, sampai kepada pemasaran hasil pertanian,
perkebunan, dan perikanan. Kelemahan dari program ini karena para sarjana yang
dikirimkan ke desa justru enggan. Hal ini disebabkan, rendahnya upah kerja yang
terdapat di perdesaan dan faktor psikologis lulusan sarjana yang umumnya
“gengsi” bekerja di desa. Akibatnya para sarjana yang semula diharapkan
menggerakkan pembangunan desa justru kembali berurbanisasi ke kota (back to
urban).
Pemerintah juga menggadang-gadang program Inpres Desa
Tertinggal (IDT), sekitar awal tahun 1993. Semacam upaya dari pemerintah untuk
membangun secara “spontan” desa-desa yang tertinggal. Tujuannya untuk memutus
arus lingkaran setan kemiskinan, dengan pemberian bantuan modal dan proses
perubahan (transformasi struktural) lingkungan orang-orang miskin di perdesaan.
Diharapkan program IDT ini menjadi stimulan atau perangsang kegiatan
pemberdayaan ekonomi desa ke tahap yang lebih maju.
Kegagalan program IDT ini disebabkan terlalu fokus kepada
variabel ekonomi. Melalui pendekatan ekonomi yang berkisar soal pemberian
pinjaman uang/bantuan fisik. Tanpa melihat kesiapan warga, pemahamannya, dan
pengawasannya. Variabel lain yang sebenarnya turut berperan seperti nilai
moral, sikap budaya, kondisi politik, dan kelembagaan, justru kerap
dikesampingkan. Akibatnya, masyarakat tidak mampu mendinamisasikan segenap
potensinya. Strategi yang tepat adalah terlebih dahulu membangun sikap dan
pemahaman (character building) masyarakat desa melalui program non-ekonomi seperti
sosial kultural dan infrastruktur.
Pendekatan Relevan Membangun Desa
Penulis merasa yakin bahwa membangun desa harus dimulai dari
perubahan paradigma. Desa jangan diidentikkan suatu entitas yang “senantiasa”
tertinggal dalam segala hal. Persepsi desa tertinggal, harus diubah menjadi
desa yang memiliki segenap potensi, masyarakat yang punya semangat kemajuan.
Desa perlu dimoderenisasi, namun tidak meninggalkan nilai-nilai budaya
tradisional dan kearifan lokal (local wisdom).
Desa yang moderen tampak dari tersedianya sarana-prasarana,
infrastruktur, dan akses dasar yang menunjang masyarakatnya memiliki
kapabilitas untuk hidup dengan kualitas lebih baik dan dapat mengaktualisasikan
segenap potensinya. Masyarakatnya secara umum memiliki tingkat pendapatan yang
mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan, seperti pangan, kesehatan dan
gizi, pendidikan, perumahan dan lingkungan hidup atau dengan kata lain kuat
dari segi ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan dan politik.
Pembangunan desa juga merupakan pembangunan masyarakatnya
(community development). Sehingga fokus pembangunan lebih diarahkan pada
peningkatan kualitas mutu manusia yang berdiam di desa. Utamanya adalah
meningkatkan pelayanan pendidikan (dasar dan menengah) dan pelayanan kesehatan
(gizi).
Wilayah perdesaan yang selama ini juga sangat kental dengan
sektor pertanian sebagai urat nadi penggerak perekonomian, sebaiknya
dimodifikasi dengan pembaharuan teknologi. Modifikasi bukan berarti mengganti
sektor ini ke sektor lain yang lebih “menjanjikan”, tetapi menjadikan sektor
ini lebih berorientasi ke bisnis (agribisnis) berbasis technology oriented
sehingga produktivitas mengalami peningkatan.
Salah satu contoh pendekatan pembangunan perdesaan di sektor
pertanian (sub-sektor peternakan) adalah Program Sarjana Membangun Desa (SMD).
Kementerian Pertanian RI, melalui Direktorat Jenderal Peternakan. Program SMD
ini merupakan pemberdayaan kelompok peternak yang akan melalui pendampingan
kelompok sekaligus penyaluran dana penguatan modal usaha. Tujuan program ini
untuk memperkuat modal usaha, sarana dan prasarana dalam mengembangkan usaha
peternakan; meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan peternak;
meningkatkan kemandirian dan kerja sama kelompok; mendorong tumbuh dan
berkembangnya pelaku agribisnis muda dan terdidik pada usaha peternakan;
mengembangkan sentra-sentra kawasan usaha peternakan. Adapun sasaran
pelaksanaan kegiatan Sarjana Membangun Desa Tahun 2010 ditargetkan 700 Sarjana
dan 700 Kelompok.
Pada tingkat mikro, ketersediaan tenaga kerja di perdesaan
hendaknya terus diberdayakan dalam suatu wadah yang dapat mengoptimalkan sumber
daya yang ada dan didukung oleh pembangunan pertanian yang spesifik lokasi dan
mempunyai daya saing yang tinggi, serta pengembangan sektor non-pertanian yang
berbasis ekonomi kerakyatan. Dalam bidang ekonomi, usaha dan pekerjaan masyarakat
diarahkan pada peningkatan local productivity secara kontinyu, sehingga mampu
menciptakan keuntungan dan meningkatkan tabungan masyarakat di pedesaan. Dalam
hal ini, penguasaan teknologi dan keterampilan oleh masyarakat dapat dijadikan
sebagai modal dasar dalam pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kondisi sosial pada
wilayah perdesaan.
Namun demikian, pembangunan pertanian di perdesaan dengan
basis agribisnis ini juga tidak perlu berlebihan. Karena akan berakibat
berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan
buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang
kegiatannya tidak merupakan bisnis. Keberadaan mereka ini masih banyak sekali,
dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan
pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian.
Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala
sesuatu yang harus dihitung keuntungan dan kerugiannya, efisiensinya, dan sama
sekali tidak memikirkan keadilan dan moral manusianya. Pembangunan pertanian
harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi
kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung
di perdesaan.
Indonesia merupakan negara kepulauan di mana ada lima pulau
besar yang menghuni wilayahnya yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan
Papua. Karakteristik dan potensi dari wilayah tersebut tentu saja memiliki
“keunikan” tersendiri khususnya wilayah perdesaannya. Karena itu, pembangunan
perdesaan di Indonesia sebaiknya tidak digeneralisasi, tetapi dispesifikasikan
sesuai dengan kondisi wilayah perdesaan masing-masing. Karena berbeda pulau,
berbeda karakter.
Diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang pembagian
kewenangan pusat dan daerah, menandai dimulainya kewenangan daerah secara
otonom dalam membangun daerahnya. Salah satu cara atau pendekatan yang dapat
digunakan oleh pemerintah daerah dalam membangun wilayah perdesaan adalah
melibatkan seluruh stakeholder daerah, mengingat kemampuan pemerintah
daerah—khususnya keuangan— sangat terbatas. Misalnya bekerjasama dengan
sejumlah perusahaan besar untuk mengoptimalkan penggunaan dan pengawasan
dana-dana corporate social responsibility (CSR) khususnya yang ditujukan bagi
pembangunan wilayah perdesaan.
Program kerja sebaiknya difokuskan pada pemberdayaan dan
perbaikan ekonomi rakyat yang diawali perubahan pola pikir masyarakat
(manusia), karena akan langsung mempengaruhi perbaikan kondisi kesejahteraan
sosial secara umum. Indikatornya adalah peningkatan pendapatan perkapita. Untuk
melakukan usaha perbaikan ekonomi masyarakat, pemerintah perlu secara rinci
fokus kepada program yang jelas berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi dan
perbaikan status sosial masyarakat perdesaan di daerahnya. Jadi di masa
mendatang, sasaran pembangunan pemerintah daerah pada wilayah pedesaan
hendaknya difokuskan pada tiga determinan pokok, yaitu pertumbuhan ekonomi,
peningkatan kualitas pendidikan dan status kesehatan.
*) Zamruddin Hasid,
Guru Besar Kebijakan Pembangunan Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas
Mulawarman.
Kirimkan Saran anda Untuk NTT Melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........
Kirimkan Saran anda Untuk NTT Melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........
Share Article : Membangun Bangsa melalui Pendidikan Karakter
Artikel Oleh:
Aswandi
Dosen FKIP
Universitas Tanjungpura Pontianak
( https://inspirasitabloid.wordpress.com)
BUNG Karno pernah mengatakan, “Bangsa ini harus dibangun
dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena character
building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan
jaya serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka
bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli”, demikian Soemarno Soedarsono (2009)
dalam bukunya “Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang”.
Mahatma Gandhi mengatakan hal yang sama, “Kualitas karakter
adalah satu-satunya faktor penentu derajat seseorang dan bangsa”. Pembangunan
watak (character building) adalah amat penting. Kita ingin membangun manusia
Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita
ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Bangsa yang berkarakter
unggul, disamping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang baik juga
ditandai dengan semangat, tekat dan energi yang kuat, dengan pikiran yang
positif dan sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan
kebersamaan yang tinggi”.
Ratna Megawangi juga mengatakan hal yang sama, “Segala
sesuatunya karena karakter”. Dan membangun karakter (character building) telah
menjadi keinginan semua orang, terutama para pendiri bangsa ini. Karakter yang
baik lebih dari sekedar perkataan, melainkan sebuah pilihan yang membawa
kesuksesan. Ia bukan anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit, dengan
pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian, usaha keras, dan bahkan
dibentuk dari kesulitan hidup”, dikutip dari Maxwell (2001) dalam bukunya ”The
21 Indispensable Qualities of A Leader”.
Mohammad Nuh selaku Menteri Pendidikan Nasional dalam
sambutannya pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2010 menegaskan kembali hal yang sama, yakni
pentingnya pembangunan karakter dan pendidikan karakter untuk membangun
peradaban bangsa ini karena diyakini pendidikan tidak hanya menjadikan peserta
didik menjadi cerdas, melainkan juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun,
sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna, baik bagi
dirinya maupun masyarakat pada umumnya.
Pendapat di atas menjelaskan bahwa keharusan membangun
karakter bangsa, tidak semata karena alasan keterpurukan peradaban bangsa saat
ini sebagaimana telah digambarkan oleh Mochtar Lubis, bahwa karakteristik
bangsa ini, antara lain; “(1) hipokrit atau munafik; lain di mulut dan lain di
hati; (2) enggan bertanggung jawab; (3) bermental menerabas, ingin kaya tanpa
berusaha dan ingin pintar tanpa belajar; (4) feodalistik; (5) masih percaya
tahyul; (6) artistik/menjaga penampilan/bergaya; (7) berwatak lemah sehingga
dengan mudah dirubah keyakinannya demi kelangsungan hidup; (8) senang
bernostalgia/efouria masa lalu; (9) cepat marah; dan (10) tukang lego untuk
ditukar dengan yang lain asal dapat uang tunai, melainkan juga pentingnya
pendidikan karakter ini karena diyakini bahwa segalanya karena karakter.
Thomas Lickona, salah seorang developemental psychologist
mengemukakan dimensi karakter; “The dimensions of character are knowing,
loving, and doing the good”. Ia kemukakan pilar karakter meliputi; (1)
trustworthiness; (2) respect; (3) responsibility; (4) fairness; (5) caring; and
(6) citizenship.
Para pakar pendidikan karakter lain mengelompokkan karakter
ke dalam 9 pilar, yakni; (1) cinta Tuhan dan ciptaannya; (2) kemandirian dan
tanggungjawab; (3) kejujuran, amanah, dan bijaksana; (4) hormat dan santun; (5)
dermawan, suka menolong, dan gotong royong; (6) percaya diri, kreatif, dan
pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; dan (9)
toleransi, kedamaian dan kesatuan.
Usaha membentuk karakter yang baik bukan pekerjaan
mudah, memerlukan pendekatan
komprehensif yang dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan, mulai dari sejak kecil di lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat.
Membangun Karakter Melalui Pikiran
Sebuah motto; ”Perhatikan pikiran anda karena ia akan menjadi
kata-kata anda. Perhatikan kata-kata anda karena ia akan menjadi perbuatan
anda. Perhatikan perbuatan anda karena ia akan menjadi kebiasaan anda.
Perhatikan kebiasaan anda karena ia akan menjadi karakter anda. Dan perhatikan
karakter anda karena ia akan menjadi takdir anda”.
Kelakuan dan pikiran manusia menjadi tema kajian menarik
sejak dulu hingga saat ini. Tempo hari dua konsep tersebut hanya dipelajari
oleh kalangan terbatas, tetapi sekarang dipelajari oleh banyak orang dari
berbagai disiplin ilmu.
Selain itu sebuah fakta menunjukkan bahwa banyak orang
mengerutkan mukanya ketika melihat orang lain melamun, dan orang yang kelihatan
sering melamun dianggap malas dan tidak punya ambisi. Isaac Newton pernah
ditanya bagaimana dia menemukan hukum gravitasi. Ia menyawab; “dengan
melamunkannya”. Emerson sependapat bahwa “kita semua ini hampir selamanya
menjadi apa yang kita lamunkan”.
Ternyata melamun memikirkan keadaan yang ingin dicapai sangat
konstruktif, demikian kata Hooper (2000) dalam bukunya berjudul; “You Are What
You Think”.
Kegagalan hidup ini lebih disebabkan oleh “Kesalahan Berfikir
atau Ketidakcerdasan Melamun” dan kealpaan kita memahami dan menggunakan
kekuatan pikiran alam bawah sadar, kata Joseph Murphy (1997) dalam bukunya “The
Power of Your Subconsious Mind”. Peter F. Drucker mengatakan, “kegagalan
menyelesaikan persoalan bukanlah karena kompeksitas persoalan tersebut,
melainkan karena kesalahan berfikir kita, dimana kita menggunakan cara berpikir
kemarin untuk menyelesaikan masalah sekarang”.
Para pakar mengkaji secara lebih mendalam tentang cara
berpikir manusia melalui berbagai metode, pendekatan, dan analisis, seperti
melalui “Meta Analysis”. Mereka menemukan bahwa cara berpikir manusia ternyata
bersumber dari “sistem keyakinan” (belief system) dan “genetik tuhan” yang ada
dalam pikirannya, demikian kata Zohar & Marshall (2001) dalam “Spritual
Quotion; Dean Hamer (2006) dalam “The God Gene”; James J. Mapes (2003) dalam
“Quantum Leap Thinking” dan Bill Gould (2006) dalam “Transformational
Thinking”.
Perjalanan intelektual manusia tersebut telah menggeser
aksioma paradigma ilmu pengetahuan dari rasional ke sakral/spritual, dan dari
positivisme ke naturalisme. Dan bahkan ranah yang selama ini diyakini sangat
sakral seperti agama juga mengalami berbagai pergeseran paradigmatik dan
menjadi kajian menarik pada saat ini sebagaimana terdapat pada berbagai karya
tulis Fritjof Capra misalnya.
Zig Ziglar (2001) dalam bukunya “Something Else to Smile
About” mengatakan bahwa “apa yang masuk ke pikiran kita dan dengan siapa kita
bergaul mempengaruhi pikiran kita. Pemikiran kita mempengaruhi
tindakan-tindakan kita. Tindakan-tindakan kita mempengaruhi prestasi kita dan
prestasi kita sangat berperan dalam seberapa sukses serta bahagia masa depan
kita nantinya”.
Brian Tracy (2006) dalam bukunya; “Change Your Thinking
Change Your Life” mengatakan; ”seseorang akan menjadi seperti apa tergantung
seperti apa yang paling sering diimpikan selama ini. Pikiran-pikiran yang lahir
dari otak mengendalikan dan menentukan hampir semua yang terjadi pada diri
seseorang. Pikiran dapat membuat seseorang menjadi mampu melakukan apapun atau
membuat seseorang merasa tidak berdaya, menjadi seorang pecundang atau
pemenang, menjadi seorang pahlawan atau pengecut”.
William James mengatakan hal senada, yakni “terdapat sebuah
hukum dalam ilmu psikologi yang menyatakan bahwa jika seseorang membuat
bayangan dalam benak dan pikirannya tentang ingin jadi apa ia kelak, dan
mempertahankan bayangan tersebut dalam benak/pikirannya dalam waktu cukup lama
dengan segera seseorang menjadi seperti dalam bayangan dan pikirannya itu”.
Dengan mengubah aspek dalam fikirannya, manusia bisa mengubah aspek luar
kehidupan mereka.
Teori mengatakan bahwa setiap orang akan mengembangkan
berbagai keyakinan tentang dirinya sendiri (self consept), dimulai sejak dia
lahir, kemudian akan menjadi program master yang menggerakkan computer bawah
sadar, menentukan apa saja yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan
dilakukannya. Oleh karena itulah, semua perubahan yang terjadi pada kehidupan
lahiriah seseorang selalu dimulai dari perubahan pada konsep dirinya atau
bagaimana seseorang berpikir tentang dirinya.
Maxwell Maltz (2004) seorang ahli pedah plastik yang kemudian
lebih dikenal sebagai pakar psikologi sibernetik dalam bukunya; “The New
Psycho-Cybernetics” mengemukakan hasil penelitiannya terhadap ribuan pasien
yang melakukan operasi bedah plastik guna meningkatkan performansinya. Hasil
penelitian menunjukkan tidak terdapat pengaruh signifikan (hanya sebagian
kecil, yakni 3%) bedah plastik terhadap peningkatan performansi seseorang.
Kemudian dilakukan penelitian lanjutan kepada sebagian kecil dari pasien
tersebut dan disimpulkan bahwa peningkatan performansi pada mereka bukanlah
karena telah terjadi perubahan fisiknya dimana mereka semakiin cantik/ganteng
dan sebagainya, melainkan adanya perubahan keyakinan dan pikiran positif akan
dirinya sendiri. Tidak terdapat perubahan perilaku nyata yang bisa berlangsung
tanpa ada perubahan cara berfikir tentang diri. Dan siapa saja bisa merintis
citra diri serta kehidupan baru yang serba lebih baik dengan merubah cara
berfikir tentang citra dirinya yang terdiri dari self ideal, yakni harapan,
impian, dan idaman, self image atau cermin diri (inner mirror), di sini kita
sering-seringlah mentertawakan diri sendiri, dan self esteem atau seberapa
besar seseorang menyukai dirinya sendiri.
Tingkat atau kualitas self esteem seseorang ditentukan oleh
seberapa cocok self image dan self ideal-nya. Sayang, citra diri seseorang
telah dirusak oleh sebuah proses pembelajaran yang salah, sejak usia dini di
rumah oleh orang tua yang seharusnya melaksanakan proses pendidikan
berkualitas, kemudian diperburuk lagi oleh proses pendidikan di sekolah dan
masyarakat.
Mengakhiri opini ini, penulis sampaikan bahwa perilaku
manusia merupakan pengejawantahan dari pikirannya, dan kualitas kehidupan
seseorang karena ia sendiri menciptakannya. Oleh karena itu berhati-hatilah
memasukkan pesan ke dalam pikiran karena hal itu akan mempengaruhi kelakuan
yang kemudian akan mempengaruhi masa depan, misalnya usirlah pikiran-pikiran
negatif dengan memasukkan pikiran-pikiran positif, jadikan kritik sebagai
pelajaran dan pujian sebagai peringatan.
Ingatlah, kebahagian tidak tergantung pada siapa anda atau
apa yang anda miliki, melainkan hanya tergantung pada apa yang anda pikirkan,
demikian kata Dale Carnegie.
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat tiga hal penting
yang mesti diperhatikan ketika ingin membangun bangsa melalui pendidikan
berbasis karakter ini, yakni melalui; (1) pembiasaan; dan (2) contoh atau
tauladan; dan (3) pendidikan/pembelajaran secara terintegrasi.
Pembiasaan, kebiasaan
memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, ia mengambil porsi
yang cukup besar dalam usaha manusia. Islam menggunakan kebiasaan sebagai salah
satu sarana pendidikan”, dikutip dari Ibrahim Hamd Al-Qu’ayyid (2005) dalam
bukunya “10 Kebiasaan Manusia Sukses Tanpa Batas”.
Zig Ziglar (2001) dalam bukunya “Something Else to Smile”
mengingatkan “Perhatikan kebiasaanmu, karena ia akan menjadi karaktermu”.
Ibn Miskawaih (1998) salah seorang pakar moral dan Etika
dalam bukunya “Tahdzib Al-Akhlaq” menegaskan bahwa “Karakter manusia terletak
pada fikirannya, dan dapat dicapai melalui pendidikan dan pergaulan,
pengulangan atau kebiasaan dan disiplin”.
Joyce Divinyi (2003) dalam bukunya “Discipline Your Kids”
mengatakan hal yang sama, bahwa “Otak membutuhkan pengulangan untuk membuat
tingkah laku tertentu menjadi kebiasaan”.
Dr. Nuwer menjelaskan bahwa proses belajar berlangsung di
wilayah sadar (cerebral cortex) di bagian luar, kemudian lama kelamaan
dilakukan pengulangan akan menjadi sebuah pola pikiran atau perilaku yang baru,
kegiatan tersebut berpindah ke wilayah otak bawah sadar (basal ganglia) yang
bersifat otomatis. Semakin sering diulang, maka semakin otomatis dan tidak
disadari tindakan itu, kebiasaan tersebut segera berubah dan lama kelamaan
diperkuat. Melakukan dan memikirkan sesuatu secara berulang-ulang otak menyesuaikan
diri dengan penciptaan jalur-jalur syaraf yang lebih rapat dan lebih efisien
atau menjadi sebuah jalur neurologis bebas hambatan di otak. Para pakar
neurofisiologi menyimpulkan temuan mereka, yakni otak mempunyai kemampuan yang
menakjubkan untuk menerima pikiran atau perilaku yang berulang-ulang dan
menyambungkannya ke pola-pola atau kebiasaan-kebiasaan yang otomatis dan di
bawah sadar. Semakin sering mengulangi pikiran dan tindakan yang konstruktif,
pikiran atau tindakan itu akan menjadi semakin dalam, semakin cepat, dan
semakin otomatis”, demikian dikutip dari Paul G. Stoltz (2000) Adversity
Quotient”. Stephen Covey mengatakan, “Karakter kita pada dasarnya disusun dari
kebiasaan-kebiasaan kita. Karena bersifat konsisten, sering berpola yang tidak
disadari, kebiasaan itu secara konstan, setiap hari, mengungkapkan karakter
kita”, dikutip dari Paul G. Stoltz (2003) dalam bukunya “Adversity Quotient @
Work”.
Satu perilaku yang dilakukan secara konsisten/istiqamah, maka
akan mampu membawa perubahan pada banyak perilaku.
Keteladanan, Abdullah Nashih Ulwan (1999) dalam bukunya
“Tarbiyatul Aulad fil Islam” mengatakan “keteladanan dalam pendidikan merupakan
metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil atau membekas dalam
mempersiapkan dan membentuk karakter, moral, spritual dan etos sosial anak”.
Sesungguhnya sangat mudah mengajar anak tentang berbagai materi pembelajaran,
tetapi akan menjadi teramat sulit bagi anak untuk menerima dan melaksanakan
pembelajaran tersebut ketika ia melihat orang yang memberikan pengarahan dan
bimbingan kepadanya tidak mengamalkannya. Anak belajar dari apa yang dilihat
dan didengar dari lingkungannya. Anak melihat orang tuanya berdusta, ia tak
mungkin belajar jujur. Melihat orang tuanya berkhianat, ia tak mungkin belajar amanah.
Melihat orang tuanya selalu memperturutkan hawa nafsu, ia tak mungkin belajar
keutamaan. Mendengar orang tuanya berkata kufur, caci-maki, dan celaan, ia tak
mungkin belajar bertutur santun dan manis. Melihat kedua orang tuanya marah dan
bertegang urat syaraf, ia tak mungkin belajar sabar, dan melihat kedua orang
tuanya bersikap keras dan bengis, ia tak mungkin belajar kasih sayang”.
Al-Maghribi (2004) mengutip ungkapan penyair Arab, “Kamu jelaskan obat kepada
yang sakit agar ia sehat sementara anda sendiri sakit…”. Allah SWT mengingatkan
dalam firmannya QS 2:44; “ “Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan,
sedangkan kamu melupakan diri atas kewajibanmu, padahal kamu membaca al-Kitab,
maka tidakkah kamu berfikir?”
Riset Empati menyimpulkan; (1) terdapat korelasi positif
antara empati dengan nilai akademik, (2) sekolah yang melibatkan siswa dalam
latihan empati kepada masyarakat mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam
reading comprehension, (3) empati berdampak pada meningkatnya pemikiran kritis
dan pemikiran kreatif; (4) kecerdasan emosi mengurangi kekerasan dan
meningkatkan perilaku prososial; (5) prilaku prososial yang ditunjukkan siswa
di kelas adalah prediktor dalam prestasi akademik.
Menurut penelitian, perilaku yang mengembangkan empati,
antara lain; menunjukkan dan menyontohkan perilaku empatik, responsif,
nonotoriter, Sebaliknya, perilaku yang merusak; ancaman dan hukuman fisik,
inkonsisten, lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat yang saling tidak
menghargai dan menghormati.
Pendidikan dan pembelajaran
terintegrasi, Pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter, berbasis
nilai, berbasis moral dan sejenisnya dirancang secara terintegrasi dengan
pendidikan dan pembelajaran lainnya. Ia tidak dapat berdiri sendiri sebagai
mata pelajaran.
Keberhasilan pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter
lebih ditentukan oleh strategi pembelajaran, disamping ditentukan oleh subject
matter dan komponen lain pembelajaran, dalam arti bagaimana peserta didik
mengkonstruksi informasi ka-karakter-an ke dalam otak dan pikirannya, selain subject matter ke-karakter-an
tersebut.
Informasi, baik berupa nilai, keyakinan dan pengalaman yang
masuk ke alam sadar dan alam bawah sadar membentuk mindset yang kemudian sangat
mempengaruhi pikiran seseorang, selanjutnya akan mempengaruhi perilaku. Jadi perilaku kita
adalah kelakuan kita.
Kirimkan Saran anda Untuk NTT melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........
Kirimkan Saran anda Untuk NTT melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........
Banyak Pertanyaan "Siapa Calon Gubernur NTT"
"kemenangan merupakan akhir atau pencapaian dari sebuah kontestasi". Hal ini juga yang terjadi dalam dunia politik, khususnya terkait Pilkada di NTT yang kian dekat. Waktu pendaftaran telah dibuka untuk siapa saja yang telah siap dan telah dilakukan, namun
sejumlah partai politik (parpol) ada dan belum menentukan dengan pasti mengenai siapa
sosok yang diusung. Saat ini sejumlah parpol masih memperhitungkan berbagai
kemungkinan sebelum menentukan siapa sosok pasangan calon yang akan di
dukung dan salah satunya adalah melalui survey. Jadi sebenarnya kalimat diatas sangat perlu dirubah menjadi "Kemenangan merupakan sebuah awal untuk pencapaian cita-cita bersama rakyat NTT untuk menjadi lebih maju dan sejahtera" . Masyarakat dituntut untuk lebih cerdas didalam menilai dan mengikuti proses serta tata cara yang telah ditetapkan. Sudah pasti seluruh lapisan masyarakat akan dikunjungi untuk perkenalan dan bertatap muka. Gunakan acara-acara tersebut untuk berkomunikasi !
"Semua kandidat memiliki pengalaman dan kemampuan lebih dari saya, maka NTT patut bersyukur memiliki banyak kandidat yang peduli akan NTT kedepannya, tentu saya dan kandidat lainnya akan mempertaruhkan apa yang ada untuk membangun NTT." (Kristo Blasin)Yuk belajar Politik !
UNDANG-UNDANGREPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2016
TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG
-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN
WALIKOTA MENJADI UNDANG -UNDANG
Klik disini ! Yuk Ketahui bersama untuk kita semua. Salam Dari Sahabat
Kirimkan Saran
anda Untuk NTT melalui Email Kristo
Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........
Subscribe to:
Posts (Atom)