Monday, June 12, 2017

Yuk Becanda (Tertawa menambah umurmu 1 hari)


Tertawa menambah umurmu satu hari, melihat-lihat di facebook banyak artikel-artikel lucu tapi memiliki makna yang baik........Salah satu foto edit diambil dari account facebook Voglio Solo Amore sangat baik untuk dishare dan membuat saya tertawa terbahak-bahak....terima kasih telah menambah umur saya.....

Share Article : Desa dan Pendekatan Pembangunan yang Relevan




Artikel Oleh : Zamruddin Hasid

Desa harus jadi kekuatan ekonomi
Agar warganya tak hijrah ke kota
Sepinya desa adalah modal utama
Untuk bekerja dan mengembangkan diri

Walau lahan sudah menjadi milik kota
Bukan berarti desa lemah tak berdaya
Desa adalah kekuatan sejati
Negara harus berpihak pada para petani …

(Dikutip dari Lagu Desa, karya Iwan Fals, 2005)

SEBUAH negara meliputi kumpulan wilayah perdesaan dan perkotaan, bahkan Indonesia yang memiliki wilayah yang cukup luas, dibangun dan bergantung dari wilayah perdesaan. Desa diibaratkan sebuah sumber yang memercikkan “segala potensi alam” yang dikelola oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Petani, berharap banyak dari alam. Penambang, berburu isi dari alam. Pelaut (nelayan), pergi berlayar mendapatkan hasil tangkapan dari alam. Warga kota mengharapkan hasil alam dari desa (dari sektor pertanian) berupa bahan makanan (food) dan bahan mentah (raw material). Dan, semua bermula dari wilayah desa dan pesisir.

Di luar dari segenap urgensi keberadaan dan potensi alam yang dimilikinya, Desa identik dengan ketertinggalan. Kita bisa menyimak betapa mirisnya kehidupan perdesaan di daerah terpencil, misalnya Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara. Bahkan di wilayah maju seperti Pulau Jawa, wilayah desa pun masih terbelakang. Betapa akses dasar begitu minim, yang membuat orang-orang tak berdaya mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya. Namun, sebaliknya kota begitu digdayanya. Infrastruktur massif di mana-mana. Gedung tinggi menjulang, hiruk pikuk manusia berseliweran, hingga kriminalitas.

Ketertinggalan desa, secara konseptual disebabkan model pembangunan yang belum tepat. Pola pembangunan trickle down effect yang difokuskan ke wilayah perkotaan memang menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang fantastis. Sayangnya, biaya opportunitas yang dikorbankan adalah ketertinggalan wilayah lain, utamanya adalah wilayah perdesaan. Desa yang mayoritas mengandalkan sektor ekonomi primer/tradisional (pertanian dalam arti luas) justru termarjinalkan oleh kebijaksanaan ekonomi moderen.

Efek pertumbuhan di perkotaan, mendorong warga desa—yang produktif—, berpikir realistis: mengadu nasib ke kota (urbanisasi). Praktis, tenaga produktif desa yang merupakan motor penggerak pembangunan desa lenyap. Beberapa penelitian juga menemukan fakta kurang berkembangnya kesempatan kerja dan rendahnya produktivitas kerja di sektor ekonomi pedesaan berdampak mengalirnya tenaga kerja usia muda terdidik ke wilayah perkotaan (Spare and Haris, 1986; Manning 1992). Salah satu penyebab lambannya peningkatan produktivitas tenaga kerja adalah lambanya peningkatan upah riil buruh pertanian (Manning dan Jayasuria, 1996 ; White, 1992) atau mengalami stagnasi, sementara itu upah riil non tani terus mengalami penurunan (Erwidodo dkk, 1993).



Kondisi demikian akhirnya hanya menyisakan angkatan kerja yang belum layak kerja atau tak punya keterampilan memadai. Sektor ekonomi yang tidak didukung sarana dan tenaga kerja memadai, praktis pula hanya menghasilkan produktivitas (nilai tambah) yang kecil dan menimbulkan kemiskinan. Sudah mafhum, bahwa realitas kemiskinan di negara ini direpresentasikan di perdesaan. Umumnya mereka menjadi petani buruh atau pekerja serabutan di luar pertanian. Banyak juga dari mereka jadi pekerja bebas (self employed), melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Dengan kondisi demikian—keterampilan dan lapangan kerja sangat limited—, maka upah sangat rendah.

Desa dan Hegemoni Sistem Kapitalis

Sistem ekonomi kapitalis yang menjadi tools pembangunan modern khususnya di perkotaan sekarang ini, sejujurnya—disadari atau tidak—menghambat perkembangan desa. Desa hanya dijadikan wilayah penjajahan gaya baru di mana segala potensinya (hasil alamnya) digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat kota melalui transaksi perdagangan. Serupa yang dikatakan Sri Edi Swasono, “Ekonomi rakyat yang low cost mendukung (mensubsidi) ekonomi besar di atasnya yang high-cost” (Lihat “Pembangunan Menggusur Orang Miskin, Bukan Menggusur Kemiskinan – http://www.ekonomirakyat.org).

Harus kita sadari, ketertinggalan pembangunan di perdesaan muncul dari kekecewaan juga kecemburuan masyarakat perdesaan terhadap moderennya kota. Inilah mengapa banyak sekali program-program pemerintah yang kurang mendapat perhatian. Lantas, bisakah dengan keadaan demikian pembangunan desa akan berhasil?

Idealnya, harus ada sebuah keseimbangan antara pembangunan di perkotaan (urban) dan pembangunan di perdesaan (rural), terutama sekali juga antara pembangunan sektor industri dan sektor pertanian. Istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani.

Strategi Membangun Desa: Fakta Empiris dan Kegagalannya?

Jika dilihat secara empiris. Pemerintah sejak era Orde Baru (Pelita IV), sebenarnya telah mendorong sebuah program yang sangat baik: Penempatan Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan (S-P3). Pemerintah sudah menerjunkan lebih dari 4000-an sarjana ke desa dengan harapan mereka dapat menjadi motivator, menciptakan lapangan kerja, menyuluh warga desa, mendidik warga terkait industri rumah tangga, sampai kepada pemasaran hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan. Kelemahan dari program ini karena para sarjana yang dikirimkan ke desa justru enggan. Hal ini disebabkan, rendahnya upah kerja yang terdapat di perdesaan dan faktor psikologis lulusan sarjana yang umumnya “gengsi” bekerja di desa. Akibatnya para sarjana yang semula diharapkan menggerakkan pembangunan desa justru kembali berurbanisasi ke kota (back to urban).

Pemerintah juga menggadang-gadang program Inpres Desa Tertinggal (IDT), sekitar awal tahun 1993. Semacam upaya dari pemerintah untuk membangun secara “spontan” desa-desa yang tertinggal. Tujuannya untuk memutus arus lingkaran setan kemiskinan, dengan pemberian bantuan modal dan proses perubahan (transformasi struktural) lingkungan orang-orang miskin di perdesaan. Diharapkan program IDT ini menjadi stimulan atau perangsang kegiatan pemberdayaan ekonomi desa ke tahap yang lebih maju.

Kegagalan program IDT ini disebabkan terlalu fokus kepada variabel ekonomi. Melalui pendekatan ekonomi yang berkisar soal pemberian pinjaman uang/bantuan fisik. Tanpa melihat kesiapan warga, pemahamannya, dan pengawasannya. Variabel lain yang sebenarnya turut berperan seperti nilai moral, sikap budaya, kondisi politik, dan kelembagaan, justru kerap dikesampingkan. Akibatnya, masyarakat tidak mampu mendinamisasikan segenap potensinya. Strategi yang tepat adalah terlebih dahulu membangun sikap dan pemahaman (character building) masyarakat desa melalui program non-ekonomi seperti sosial kultural dan infrastruktur.

Pendekatan Relevan Membangun Desa

Penulis merasa yakin bahwa membangun desa harus dimulai dari perubahan paradigma. Desa jangan diidentikkan suatu entitas yang “senantiasa” tertinggal dalam segala hal. Persepsi desa tertinggal, harus diubah menjadi desa yang memiliki segenap potensi, masyarakat yang punya semangat kemajuan. Desa perlu dimoderenisasi, namun tidak meninggalkan nilai-nilai budaya tradisional dan kearifan lokal (local wisdom).

Desa yang moderen tampak dari tersedianya sarana-prasarana, infrastruktur, dan akses dasar yang menunjang masyarakatnya memiliki kapabilitas untuk hidup dengan kualitas lebih baik dan dapat mengaktualisasikan segenap potensinya. Masyarakatnya secara umum memiliki tingkat pendapatan yang mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan, seperti pangan, kesehatan dan gizi, pendidikan, perumahan dan lingkungan hidup atau dengan kata lain kuat dari segi ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan dan politik.

Pembangunan desa juga merupakan pembangunan masyarakatnya (community development). Sehingga fokus pembangunan lebih diarahkan pada peningkatan kualitas mutu manusia yang berdiam di desa. Utamanya adalah meningkatkan pelayanan pendidikan (dasar dan menengah) dan pelayanan kesehatan (gizi).

Wilayah perdesaan yang selama ini juga sangat kental dengan sektor pertanian sebagai urat nadi penggerak perekonomian, sebaiknya dimodifikasi dengan pembaharuan teknologi. Modifikasi bukan berarti mengganti sektor ini ke sektor lain yang lebih “menjanjikan”, tetapi menjadikan sektor ini lebih berorientasi ke bisnis (agribisnis) berbasis technology oriented sehingga produktivitas mengalami peningkatan.

Salah satu contoh pendekatan pembangunan perdesaan di sektor pertanian (sub-sektor peternakan) adalah Program Sarjana Membangun Desa (SMD). Kementerian Pertanian RI, melalui Direktorat Jenderal Peternakan. Program SMD ini merupakan pemberdayaan kelompok peternak yang akan melalui pendampingan kelompok sekaligus penyaluran dana penguatan modal usaha. Tujuan program ini untuk memperkuat modal usaha, sarana dan prasarana dalam mengembangkan usaha peternakan; meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan peternak; meningkatkan kemandirian dan kerja sama kelompok; mendorong tumbuh dan berkembangnya pelaku agribisnis muda dan terdidik pada usaha peternakan; mengembangkan sentra-sentra kawasan usaha peternakan. Adapun sasaran pelaksanaan kegiatan Sarjana Membangun Desa Tahun 2010 ditargetkan 700 Sarjana dan 700 Kelompok.

Pada tingkat mikro, ketersediaan tenaga kerja di perdesaan hendaknya terus diberdayakan dalam suatu wadah yang dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada dan didukung oleh pembangunan pertanian yang spesifik lokasi dan mempunyai daya saing yang tinggi, serta pengembangan sektor non-pertanian yang berbasis ekonomi kerakyatan. Dalam bidang ekonomi, usaha dan pekerjaan masyarakat diarahkan pada peningkatan local productivity secara kontinyu, sehingga mampu menciptakan keuntungan dan meningkatkan tabungan masyarakat di pedesaan. Dalam hal ini, penguasaan teknologi dan keterampilan oleh masyarakat dapat dijadikan sebagai modal dasar dalam pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kondisi sosial pada wilayah perdesaan.

Namun demikian, pembangunan pertanian di perdesaan dengan basis agribisnis ini juga tidak perlu berlebihan. Karena akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Keberadaan mereka ini masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung keuntungan dan kerugiannya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilan dan moral manusianya. Pembangunan pertanian harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.

Indonesia merupakan negara kepulauan di mana ada lima pulau besar yang menghuni wilayahnya yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Karakteristik dan potensi dari wilayah tersebut tentu saja memiliki “keunikan” tersendiri khususnya wilayah perdesaannya. Karena itu, pembangunan perdesaan di Indonesia sebaiknya tidak digeneralisasi, tetapi dispesifikasikan sesuai dengan kondisi wilayah perdesaan masing-masing. Karena berbeda pulau, berbeda karakter.

Diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang pembagian kewenangan pusat dan daerah, menandai dimulainya kewenangan daerah secara otonom dalam membangun daerahnya. Salah satu cara atau pendekatan yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam membangun wilayah perdesaan adalah melibatkan seluruh stakeholder daerah, mengingat kemampuan pemerintah daerah—khususnya keuangan— sangat terbatas. Misalnya bekerjasama dengan sejumlah perusahaan besar untuk mengoptimalkan penggunaan dan pengawasan dana-dana corporate social responsibility (CSR) khususnya yang ditujukan bagi pembangunan wilayah perdesaan.

Program kerja sebaiknya difokuskan pada pemberdayaan dan perbaikan ekonomi rakyat yang diawali perubahan pola pikir masyarakat (manusia), karena akan langsung mempengaruhi perbaikan kondisi kesejahteraan sosial secara umum. Indikatornya adalah peningkatan pendapatan perkapita. Untuk melakukan usaha perbaikan ekonomi masyarakat, pemerintah perlu secara rinci fokus kepada program yang jelas berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan status sosial masyarakat perdesaan di daerahnya. Jadi di masa mendatang, sasaran pembangunan pemerintah daerah pada wilayah pedesaan hendaknya difokuskan pada tiga determinan pokok, yaitu pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan dan status kesehatan.

 *) Zamruddin Hasid, Guru Besar Kebijakan Pembangunan Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman.

 Kirimkan Saran anda  Untuk NTT Melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........

Share Article : Membangun Bangsa melalui Pendidikan Karakter



Artikel Oleh: Aswandi

Dosen FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak
( https://inspirasitabloid.wordpress.com)

BUNG Karno pernah mengatakan, “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli”, demikian Soemarno Soedarsono (2009) dalam bukunya “Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang”.

Mahatma Gandhi mengatakan hal yang sama, “Kualitas karakter adalah satu-satunya faktor penentu derajat seseorang dan bangsa”. Pembangunan watak (character building) adalah amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Bangsa yang berkarakter unggul, disamping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang baik juga ditandai dengan semangat, tekat dan energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dan sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi”.

Ratna Megawangi juga mengatakan hal yang sama, “Segala sesuatunya karena karakter”. Dan membangun karakter (character building) telah menjadi keinginan semua orang, terutama para pendiri bangsa ini. Karakter yang baik lebih dari sekedar perkataan, melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian, usaha keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan hidup”, dikutip dari Maxwell (2001) dalam bukunya ”The 21 Indispensable Qualities of A Leader”.

Mohammad Nuh selaku Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutannya pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional  2010 menegaskan kembali hal yang sama, yakni pentingnya pembangunan karakter dan pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa ini karena diyakini pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, melainkan juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna, baik bagi dirinya maupun masyarakat pada umumnya.

Pendapat di atas menjelaskan bahwa keharusan membangun karakter bangsa, tidak semata karena alasan keterpurukan peradaban bangsa saat ini sebagaimana telah digambarkan oleh Mochtar Lubis, bahwa karakteristik bangsa ini, antara lain; “(1) hipokrit atau munafik; lain di mulut dan lain di hati; (2) enggan bertanggung jawab; (3) bermental menerabas, ingin kaya tanpa berusaha dan ingin pintar tanpa belajar; (4) feodalistik; (5) masih percaya tahyul; (6) artistik/menjaga penampilan/bergaya; (7) berwatak lemah sehingga dengan mudah dirubah keyakinannya demi kelangsungan hidup; (8) senang bernostalgia/efouria masa lalu; (9) cepat marah; dan (10) tukang lego untuk ditukar dengan yang lain asal dapat uang tunai, melainkan juga pentingnya pendidikan karakter ini karena diyakini bahwa segalanya karena karakter.

Thomas Lickona, salah seorang developemental psychologist mengemukakan dimensi karakter; “The dimensions of character are knowing, loving, and doing the good”. Ia kemukakan pilar karakter meliputi; (1) trustworthiness; (2) respect; (3) responsibility; (4) fairness; (5) caring; and (6) citizenship.

Para pakar pendidikan karakter lain mengelompokkan karakter ke dalam 9 pilar, yakni; (1) cinta Tuhan dan ciptaannya; (2) kemandirian dan tanggungjawab; (3) kejujuran, amanah, dan bijaksana; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka menolong, dan gotong royong; (6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi, kedamaian dan kesatuan.

Usaha membentuk karakter yang baik bukan pekerjaan mudah,  memerlukan pendekatan komprehensif yang dilakukan secara  sistematis dan berkesinambungan, mulai dari sejak kecil di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Membangun Karakter Melalui Pikiran

Sebuah motto; ”Perhatikan pikiran anda karena ia akan menjadi kata-kata anda. Perhatikan kata-kata anda karena ia akan menjadi perbuatan anda. Perhatikan perbuatan anda karena ia akan menjadi kebiasaan anda. Perhatikan kebiasaan anda karena ia akan menjadi karakter anda. Dan perhatikan karakter anda karena ia akan menjadi takdir anda”.

Kelakuan dan pikiran manusia menjadi tema kajian menarik sejak dulu hingga saat ini. Tempo hari dua konsep tersebut hanya dipelajari oleh kalangan terbatas, tetapi sekarang dipelajari oleh banyak orang dari berbagai disiplin ilmu.

Selain itu sebuah fakta menunjukkan bahwa banyak orang mengerutkan mukanya ketika melihat orang lain melamun, dan orang yang kelihatan sering melamun dianggap malas dan tidak punya ambisi. Isaac Newton pernah ditanya bagaimana dia menemukan hukum gravitasi. Ia menyawab; “dengan melamunkannya”. Emerson sependapat bahwa “kita semua ini hampir selamanya menjadi apa yang kita lamunkan”.

Ternyata melamun memikirkan keadaan yang ingin dicapai sangat konstruktif, demikian kata Hooper (2000) dalam bukunya berjudul; “You Are What You Think”.

Kegagalan hidup ini lebih disebabkan oleh “Kesalahan Berfikir atau Ketidakcerdasan Melamun” dan kealpaan kita memahami dan menggunakan kekuatan pikiran alam bawah sadar, kata Joseph Murphy (1997) dalam bukunya “The Power of Your Subconsious Mind”. Peter F. Drucker mengatakan, “kegagalan menyelesaikan persoalan bukanlah karena kompeksitas persoalan tersebut, melainkan karena kesalahan berfikir kita, dimana kita menggunakan cara berpikir kemarin untuk menyelesaikan masalah sekarang”.

Para pakar mengkaji secara lebih mendalam tentang cara berpikir manusia melalui berbagai metode, pendekatan, dan analisis, seperti melalui “Meta Analysis”. Mereka menemukan bahwa cara berpikir manusia ternyata bersumber dari “sistem keyakinan” (belief system) dan “genetik tuhan” yang ada dalam pikirannya, demikian kata Zohar & Marshall (2001) dalam “Spritual Quotion; Dean Hamer (2006) dalam “The God Gene”; James J. Mapes (2003) dalam “Quantum Leap Thinking” dan Bill Gould (2006) dalam “Transformational Thinking”.

Perjalanan intelektual manusia tersebut telah menggeser aksioma paradigma ilmu pengetahuan dari rasional ke sakral/spritual, dan dari positivisme ke naturalisme. Dan bahkan ranah yang selama ini diyakini sangat sakral seperti agama juga mengalami berbagai pergeseran paradigmatik dan menjadi kajian menarik pada saat ini sebagaimana terdapat pada berbagai karya tulis Fritjof Capra misalnya.

Zig Ziglar (2001) dalam bukunya “Something Else to Smile About” mengatakan bahwa “apa yang masuk ke pikiran kita dan dengan siapa kita bergaul mempengaruhi pikiran kita. Pemikiran kita mempengaruhi tindakan-tindakan kita. Tindakan-tindakan kita mempengaruhi prestasi kita dan prestasi kita sangat berperan dalam seberapa sukses serta bahagia masa depan kita nantinya”.

Brian Tracy (2006) dalam bukunya; “Change Your Thinking Change Your Life” mengatakan; ”seseorang akan menjadi seperti apa tergantung seperti apa yang paling sering diimpikan selama ini. Pikiran-pikiran yang lahir dari otak mengendalikan dan menentukan hampir semua yang terjadi pada diri seseorang. Pikiran dapat membuat seseorang menjadi mampu melakukan apapun atau membuat seseorang merasa tidak berdaya, menjadi seorang pecundang atau pemenang, menjadi seorang pahlawan atau pengecut”.

William James mengatakan hal senada, yakni “terdapat sebuah hukum dalam ilmu psikologi yang menyatakan bahwa jika seseorang membuat bayangan dalam benak dan pikirannya tentang ingin jadi apa ia kelak, dan mempertahankan bayangan tersebut dalam benak/pikirannya dalam waktu cukup lama dengan segera seseorang menjadi seperti dalam bayangan dan pikirannya itu”. Dengan mengubah aspek dalam fikirannya, manusia bisa mengubah aspek luar kehidupan mereka.

Teori mengatakan bahwa setiap orang akan mengembangkan berbagai keyakinan tentang dirinya sendiri (self consept), dimulai sejak dia lahir, kemudian akan menjadi program master yang menggerakkan computer bawah sadar, menentukan apa saja yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan dilakukannya. Oleh karena itulah, semua perubahan yang terjadi pada kehidupan lahiriah seseorang selalu dimulai dari perubahan pada konsep dirinya atau bagaimana seseorang berpikir tentang dirinya.

Maxwell Maltz (2004) seorang ahli pedah plastik yang kemudian lebih dikenal sebagai pakar psikologi sibernetik dalam bukunya; “The New Psycho-Cybernetics” mengemukakan hasil penelitiannya terhadap ribuan pasien yang melakukan operasi bedah plastik guna meningkatkan performansinya. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat pengaruh signifikan (hanya sebagian kecil, yakni 3%) bedah plastik terhadap peningkatan performansi seseorang. Kemudian dilakukan penelitian lanjutan kepada sebagian kecil dari pasien tersebut dan disimpulkan bahwa peningkatan performansi pada mereka bukanlah karena telah terjadi perubahan fisiknya dimana mereka semakiin cantik/ganteng dan sebagainya, melainkan adanya perubahan keyakinan dan pikiran positif akan dirinya sendiri. Tidak terdapat perubahan perilaku nyata yang bisa berlangsung tanpa ada perubahan cara berfikir tentang diri. Dan siapa saja bisa merintis citra diri serta kehidupan baru yang serba lebih baik dengan merubah cara berfikir tentang citra dirinya yang terdiri dari self ideal, yakni harapan, impian, dan idaman, self image atau cermin diri (inner mirror), di sini kita sering-seringlah mentertawakan diri sendiri, dan self esteem atau seberapa besar seseorang menyukai dirinya sendiri. 

Tingkat atau kualitas self esteem seseorang ditentukan oleh seberapa cocok self image dan self ideal-nya. Sayang, citra diri seseorang telah dirusak oleh sebuah proses pembelajaran yang salah, sejak usia dini di rumah oleh orang tua yang seharusnya melaksanakan proses pendidikan berkualitas, kemudian diperburuk lagi oleh proses pendidikan di sekolah dan masyarakat.

Mengakhiri opini ini, penulis sampaikan bahwa perilaku manusia merupakan pengejawantahan dari pikirannya, dan kualitas kehidupan seseorang karena ia sendiri menciptakannya. Oleh karena itu berhati-hatilah memasukkan pesan ke dalam pikiran karena hal itu akan mempengaruhi kelakuan yang kemudian akan mempengaruhi masa depan, misalnya usirlah pikiran-pikiran negatif dengan memasukkan pikiran-pikiran positif, jadikan kritik sebagai pelajaran dan pujian sebagai peringatan.

Ingatlah, kebahagian tidak tergantung pada siapa anda atau apa yang anda miliki, melainkan hanya tergantung pada apa yang anda pikirkan, demikian kata Dale Carnegie.

Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat tiga hal penting yang mesti diperhatikan ketika ingin membangun bangsa melalui pendidikan berbasis karakter ini, yakni melalui; (1) pembiasaan; dan (2) contoh atau tauladan; dan (3) pendidikan/pembelajaran secara terintegrasi.

Pembiasaan,  kebiasaan memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, ia mengambil porsi yang cukup besar dalam usaha manusia. Islam menggunakan kebiasaan sebagai salah satu sarana pendidikan”, dikutip dari Ibrahim Hamd Al-Qu’ayyid (2005) dalam bukunya “10 Kebiasaan Manusia Sukses Tanpa Batas”.

Zig Ziglar (2001) dalam bukunya “Something Else to Smile” mengingatkan “Perhatikan kebiasaanmu, karena ia akan menjadi karaktermu”.

Ibn Miskawaih (1998) salah seorang pakar moral dan Etika dalam bukunya “Tahdzib Al-Akhlaq” menegaskan bahwa “Karakter manusia terletak pada fikirannya, dan dapat dicapai melalui pendidikan dan pergaulan, pengulangan atau kebiasaan dan disiplin”.

Joyce Divinyi (2003) dalam bukunya “Discipline Your Kids” mengatakan hal yang sama, bahwa “Otak membutuhkan pengulangan untuk membuat tingkah laku tertentu menjadi kebiasaan”.

Dr. Nuwer menjelaskan bahwa proses belajar berlangsung di wilayah sadar (cerebral cortex) di bagian luar, kemudian lama kelamaan dilakukan pengulangan akan menjadi sebuah pola pikiran atau perilaku yang baru, kegiatan tersebut berpindah ke wilayah otak bawah sadar (basal ganglia) yang bersifat otomatis. Semakin sering diulang, maka semakin otomatis dan tidak disadari tindakan itu, kebiasaan tersebut segera berubah dan lama kelamaan diperkuat. Melakukan dan memikirkan sesuatu secara berulang-ulang otak menyesuaikan diri dengan penciptaan jalur-jalur syaraf yang lebih rapat dan lebih efisien atau menjadi sebuah jalur neurologis bebas hambatan di otak. Para pakar neurofisiologi menyimpulkan temuan mereka, yakni otak mempunyai kemampuan yang menakjubkan untuk menerima pikiran atau perilaku yang berulang-ulang dan menyambungkannya ke pola-pola atau kebiasaan-kebiasaan yang otomatis dan di bawah sadar. Semakin sering mengulangi pikiran dan tindakan yang konstruktif, pikiran atau tindakan itu akan menjadi semakin dalam, semakin cepat, dan semakin otomatis”, demikian dikutip dari Paul G. Stoltz (2000) Adversity Quotient”. Stephen Covey mengatakan, “Karakter kita pada dasarnya disusun dari kebiasaan-kebiasaan kita. Karena bersifat konsisten, sering berpola yang tidak disadari, kebiasaan itu secara konstan, setiap hari, mengungkapkan karakter kita”, dikutip dari Paul G. Stoltz (2003) dalam bukunya “Adversity Quotient @ Work”.

Satu perilaku yang dilakukan secara konsisten/istiqamah, maka akan mampu membawa perubahan pada banyak perilaku.

Keteladanan, Abdullah Nashih Ulwan (1999) dalam bukunya “Tarbiyatul Aulad fil Islam” mengatakan “keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil atau membekas dalam mempersiapkan dan membentuk karakter, moral, spritual dan etos sosial anak”. Sesungguhnya sangat mudah mengajar anak tentang berbagai materi pembelajaran, tetapi akan menjadi teramat sulit bagi anak untuk menerima dan melaksanakan pembelajaran tersebut ketika ia melihat orang yang memberikan pengarahan dan bimbingan kepadanya tidak mengamalkannya. Anak belajar dari apa yang dilihat dan didengar dari lingkungannya. Anak melihat orang tuanya berdusta, ia tak mungkin belajar jujur. Melihat orang tuanya berkhianat, ia tak mungkin belajar amanah. Melihat orang tuanya selalu memperturutkan hawa nafsu, ia tak mungkin belajar keutamaan. Mendengar orang tuanya berkata kufur, caci-maki, dan celaan, ia tak mungkin belajar bertutur santun dan manis. Melihat kedua orang tuanya marah dan bertegang urat syaraf, ia tak mungkin belajar sabar, dan melihat kedua orang tuanya bersikap keras dan bengis, ia tak mungkin belajar kasih sayang”. Al-Maghribi (2004) mengutip ungkapan penyair Arab, “Kamu jelaskan obat kepada yang sakit agar ia sehat sementara anda sendiri sakit…”. Allah SWT mengingatkan dalam firmannya QS 2:44; “ “Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri atas kewajibanmu, padahal kamu membaca al-Kitab, maka tidakkah kamu berfikir?”

Riset Empati menyimpulkan; (1) terdapat korelasi positif antara empati dengan nilai akademik, (2) sekolah yang melibatkan siswa dalam latihan empati kepada masyarakat mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam reading comprehension, (3) empati berdampak pada meningkatnya pemikiran kritis dan pemikiran kreatif; (4) kecerdasan emosi mengurangi kekerasan dan meningkatkan perilaku prososial; (5) prilaku prososial yang ditunjukkan siswa di kelas adalah prediktor dalam prestasi akademik.

Menurut penelitian, perilaku yang mengembangkan empati, antara lain; menunjukkan dan menyontohkan perilaku empatik, responsif, nonotoriter, Sebaliknya, perilaku yang merusak; ancaman dan hukuman fisik, inkonsisten, lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat yang saling tidak menghargai dan menghormati.

Pendidikan dan pembelajaran  terintegrasi, Pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter, berbasis nilai, berbasis moral dan sejenisnya dirancang secara terintegrasi dengan pendidikan dan pembelajaran lainnya. Ia tidak dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran.

Keberhasilan pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter lebih ditentukan oleh strategi pembelajaran, disamping ditentukan oleh subject matter dan komponen lain pembelajaran, dalam arti bagaimana peserta didik mengkonstruksi informasi ka-karakter-an ke dalam otak dan pikirannya,  selain subject matter ke-karakter-an tersebut.

Informasi, baik berupa nilai, keyakinan dan pengalaman yang masuk ke alam sadar dan alam bawah sadar membentuk mindset yang kemudian sangat mempengaruhi pikiran seseorang, selanjutnya akan  mempengaruhi perilaku. Jadi perilaku kita adalah kelakuan kita.

 Kirimkan Saran anda  Untuk NTT melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........

Banyak Pertanyaan "Siapa Calon Gubernur NTT"


"kemenangan merupakan akhir atau pencapaian dari sebuah kontestasi". Hal ini juga yang terjadi dalam dunia politik, khususnya terkait Pilkada di NTT yang kian dekat. Waktu pendaftaran telah dibuka untuk siapa saja yang telah siap dan telah dilakukan, namun sejumlah partai politik (parpol) ada dan belum menentukan dengan pasti mengenai siapa sosok yang diusung. Saat ini sejumlah parpol masih memperhitungkan berbagai kemungkinan sebelum menentukan siapa sosok pasangan calon yang akan di dukung dan salah satunya adalah melalui survey. Jadi sebenarnya kalimat diatas sangat perlu dirubah  menjadi "Kemenangan merupakan sebuah awal untuk pencapaian cita-cita bersama rakyat NTT untuk menjadi lebih maju dan sejahtera" . Masyarakat dituntut untuk lebih cerdas didalam menilai dan mengikuti proses serta tata cara yang telah ditetapkan. Sudah pasti seluruh lapisan masyarakat akan dikunjungi untuk perkenalan dan bertatap muka. Gunakan acara-acara tersebut untuk berkomunikasi !


Kristo Blasin telah melakukan  step by step semenjak menetapkan dirinya dan memenuhi panggilan dalam pembangunan NTT kedepannya.  Pantauan Pos Kupang, Kamis (4/5/2017) sekitar pukul 09:30 wita, Kristo dan istri bersama  keluarga mendaftar di PDIP. Tim dipimpin, olehWili Paga. Hadir pula, sejumlah simpatisan.

"Semua kandidat memiliki pengalaman dan kemampuan lebih dari saya, maka NTT patut bersyukur memiliki banyak kandidat yang peduli akan NTT kedepannya, tentu saya dan kandidat lainnya akan mempertaruhkan apa yang ada untuk membangun NTT." (Kristo Blasin)
 Yuk belajar Politik !



UNDANG-UNDANGREPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2016
TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG -UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG -UNDANG

Klik disini ! Yuk Ketahui bersama untuk kita semua. Salam Dari Sahabat


Kirimkan Saran anda  Untuk NTT melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........