Thursday, December 21, 2017

Ucapan Terima Kasih Atas Dukungan Dan Partisipasi Sahabat Kristo Blasin

Gabriel Odja " Ketua Sahabat Kristo Blasin"


Salam sejahtera kami sampaikan kiranya kita semua selalu dalam naungan Tuhan beserta segala rahmat dan anugerah-Nya.

Melalui blog ini, kami Sahabat Kristo Blasin menyampaikan limpah terima kasih  kepada seluruh Sahabat Kristo Blasin dimanapun berada yang telah memberikan sumbangsih untuk mendukung Saudara kita Kristo Blasin dalam pemilihan kandidat Calon Gubernur di PDIP. Keputusan telah menetapkan pasangan terbaik yakni Marianus Sae dan Emilla J. Nomleni tentunya melewati tahap dan pertimbangan yang matang. Kami mengucapkan selamat termasuk pasangan lainnya yang telah ditetapkan. Selamat melanjutkan misi masing-masing dan terus menampilkan program-program yang dapat memajukan NTT dan mampu memberikan yang terbaik untuk masyarakat NTT. Dalam blog ini akan tetap kita isikan dengan artikel-artikel yang bersifat mendidik, sharing dan yang jelas artikel-artikel yang bukan merupakan kategori "Hate speech". 

Dalam kesempatan ini, kami menghimbau agar para Sahabat Kristo Blasin tetap memberikan sumbangsih dan ikut mengambil bagian dalam proses pemilihan kedepannya. Pilihlah dan dukunglah yang terbaik dan tetap jaga kemanan persaudaraan dan rasa kebersamaan diantara kita semua.

Semoga sumbangsih para sahabat Kristo Blasin ini mendapat berkat dan digantikan dengan yang jauh lebih melimpah. Demikian ucapan terima kasih ini kami sampaikan, atas perhatian para Sahabat Kristo Blasin dan siapa saja yang telah berkunjung ke blog ini kami ucapkan terima kasih.




Salam



Friday, December 15, 2017

"Deradikalisme" Menangkal Arus Faham Radikalisme


Yuk Buat NTT Aman Dan Sejahtera
Sumber : http://diujungzaman.blogspot.co.id

Berbicara masalah radikalisme, tentu saja kita harus memahami pengertian dasar dari kata radikal dan istilah radikalisme. Istilah radikal dan radikalisme berasal dari bahasa latin “radix, radicis”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula. Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry terbitan Arkola Surabaya menuliskan bahwa radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam. Kamus besar bahasa Indonesia memberikan makna terhadap istilah radikalisme sebagai 1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; dan 3) sikap ekstrem dalam aliran politik. 

Begitu pentingnya fenomena radikalisme dalam kehidupan manusia, wikipedia memberi pemaknaan tersendiri yaitu bahwa "radikalisme" adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham / aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.  

Dan kini, faham radikalisme yang dikaitkan dengan Islam, mendapat suplemen dan energi yang besar dengan diproklamasikannya negara ISIS, yang di akhir kemudian diketahui merupakan alat propaganda kolaborasi politik internasional untuk mengadu domba dan memecah kesatuan umat dunia, sebagai akibat dari usaha untuk menggambarkan kebencian terhadap pertumbuhan dan perkembangan islam di dunia internasional. 

Namun, nasi sudah menjadi bubur, benih kebencian sudah ditanam, bibit-bibit kejahatan sudah menjadi tunas-tunas baru yang tumbuh dan berkembang. Virus faham radikal sudah menyebar ke mana-mana, masuk dan menyelinap ke rumah tangga dan bersenyawa membabi buta hingga ke desa-desa. Penyesalan memang bukanlah obat mujarab untuk menyembuhkan rasa sakit, namun tindakan terbaik saat ini adalah pengobatan yang tepat dengan menggunakan ramuan dan formula yang tepat agar virus bernama radikalisme itu tidak menjalar kemana-mana.  

Sebagai negara yang memiliki kedaulatan baik secara politik, ideologi, kewilayahan dan pertahanan dan keamanan, sejak proklamasi kemerdekaan diproklamirkan oleh Presiden Soekarno, Indonesia harus tetap kokoh tegak berdiri sejajar dengan bangsa lain dengan tidak mengabaikan kesatuan dan persatuan yang sejak dulu diperjuangkan. Dan radikalisme yang sekarang berkembang dianggap memiliki potensi cukup besar untuk memicu terberainya ikatan persatuan dan kesatuan bangsa yang dijunjung tinggi apalagi ditunjang dengan tersedianya kecanggihan infrastruktur teknologi informasi yang kini menjadi rujukan yang cukup penting untuk pengambilan keputusan. 

Jika saja radikalisme dianggap sebagai faham untuk mempertahankan kebenaran yang sudah menjadi kesepakatan dalam skala kebangsaan, memang harus dipertahankan keberadaannya, sebab ia bisa mengikat tali untai persatuan dan kesatuan dalam wujud nasionalisme yang tinggi membela tanah air dan bangsa. Namun radikalisme tidaklah seperti itu, radikalisme yang berkembang memiliki kecenderungan memunculkan keburukan dan kerusakan bahkan melahirkan pelaku teror yang tak boleh dibiarkan menggurita menjadi virus raksasa yang mencengkram keutuhan bangsa. 

Oleh sebab itu harus ada upaya yang simultan, dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat dengan mengedepankan fungsi dari masing-masing komponen anak bangsa menjadi garda terdepan menurunkan kadar tumbuhnya sikap radikalisme di masyarakat. Dan upaya itu disebut dengan deradikalisme. 

Sikap dan tindakan radikalisme yang melahirkan kejahatan terorisme tidak pernah dilakukan oleh orang tua yang renta, terorisme dilakukan oleh anak muda dan orang dewasa yang masih mempunyai tenaga yang besar untuk menggerakkan aksi terorisme. Tentu saja kekerasan akan dilakukan oleh orang yang masih enerjik, punya kekuatan mengangkat senjata serta pandai dan memiliki kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Artinya benih-benih radikalisme ditanamkan di benak anak muda yang sedang tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dewasa. Fakta lainnnya, menurut pakar psikologi yang juga guru besar psikologi universitas Indonesia (UI) Hamdi muluk mengakui, akhir-akhir ini,  pergerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia cenderung menurun. Artinya jika dalam masa pertumbuhan penuh diisi dengan pendidikan yang membangun karakter agamis, membangun acara-acara kebersamaan maka gejala bertumbuhnya radikalisme akan mengecil dan menurun kadarnya. 

NTT sejak dahulu memiliki adat istiadat bersatu sebagai sebuah keluarga dan menjadi contoh daerah lainnya dalam hal keanekaragaman. Namun radikalisme tidak menutup kemungkinan berusaha masuk merusak bumi flobamora. "Jangan mudah percaya Hoax" dari jalur manapun termasuk dunia politik

Salam : Kristo Blasin




Manusia Menjadi Pemangsa Manusia Lainnya

  
Yuk belajar politik dan sejarah
Sumber : https://penasoekarno.wordpress.com

Manusia manjadi pemangsa bagi manusia yang lain, sepsrti itu ditulis Thomas Hobbes dalam bukunya yang diberinya judul “leviathan”. Begitulah nasib yang di alami bangsa kita Indonesia. Mana kala segala kekejian seberat bumi dan langit ditimpakan penjajah pada punggung Ibu pertiwi dan pendahulu-pendahulu kita. Sejarah panjang perjuangan dan melelahkan pada akhirnya membuahkan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dengan keputusan rakyat Indonesia sendiri setelah kemerdekaan yang dijanjikan jepang tak kunjung datang. Sejarahpun berlanjut, tiga sistem politik yang berbeda, masing masing mengatasnamakan “Demokrasi” telah di coba di tegakkan selama lebih kurang setengah abad terakhir.
Segera setelah Indonesia merdeka, Indonesia mencoba sistem Demokrasi parlementer yang di kemudian hari dianggap terlalu “Liberal”, kemudian menjelang dekade 1950 an dicoba pula sistem politik dengan nama demokrasi terpimpin, yang ternyata bukan saja tidak Demokratis, melainkan dinilai cendrung mengarah kepada sistem Otoriterianisme, pada kurun waktu terpanjang sesudah itu di Indonesia diberlakukan “Demokrasi pancasila” di bawah orde Baru, yang berakhir pada tahun 1998,dan yang melahirkan Revormasi.
Dalam makalah ini kami akan mencoba membahas tentang “Demokrasi Terpimpin di Indonesia” dan mudah-mudahan tidak lari jauh dari konteks sejarahnya. Dan dalam metode penulisan makalah ini penulis berusaha bersikap netral.

A. Latar Belakang sejarah diberlakukannya Demokrasi Terpimpin.

Di awali dari maklumat Hatta sebagai wakil presiden waktu itu, di mana dalam maklumat tersebut menganjurkan perlunya pembentukan partai-partai, yang ternyata mendapat sambutan luas hingga pada waktu itu lebih kurang 40 partai telah lahir di Indonesia, tetapi pada kenyataannya dalam kondisi yang sedemikian, bukannya menambah suburnya sistem Demokrasi di Indonesia. Buktinya kabinet-kabinet yang ada pada waktu itu tidak pernah bertahan sampai 2 tahun penuh dan terjadi perombakan-perombakan dengan kabinet yang baru, dan bahkan menurut penilayan presiden Soekarno banyaknya partai hanya memperunyam masalah dan hanya menjadi penyebab gotok- gotokan, penyebab perpecahan bahkan dalam nada pidatonya dia menilai partai itu adalah semacam pertunjukan adu kambing yang tidak bakalan berpengaruh baik bagi Bangsa dan negara.

Menurut pengamatan Soekarno Demokrasi Liberal tidak semakin mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang dicita-citakan, yakni berupa masrakat adil dan makmur, sehingga pada gilirannya pembangunan ekonomi sulit untuk dimajukan, karena setiap fihak baik pegawai negeri dan parpol juga militer saling berebut keuntungan dengan mengorban kan yang lain.

Keinginan presiden Soekarno untuk mengubur partai-partai yang ada pada waktu itu tidak jadi dilakukan, namun pembatasan terhadap partai diberlakukan, dengan membiarkan partai politik sebanyak 10 partai tetap bertahan. Yang akhirnya menambah besarnya gejolak baik dari internal partai yang dibubarkan maupun para tokoh-tokoh yang memperjuangkan “Demokrasi liberal” juga daerah-daerah tidak ketinggalan. Dan keadaan yang demikian, akhirnya memaksa Soekarno untuk menerapkan “Demokrasi terpimpin” dengan dukungan militer untuk mengambil alih kekuasaan.


B. Demokrasi Terpimpin
 
Dalam suasana yang mengancam keutuhan teritorial sebagaimana kata Feith, dan ancaman perpecahan sebagai mana kata Soepomo, itulah muncul gagasan “Demokrasi Terpimpin” yang di lontarkan Presiden Soekarno pada bulan februari 1957. mula mula pandangan ini dicetuskan oleh partai Murba, serta Chaerul saleh dan Ahmadi.

Namun gagasan tanpa perbuatan tidak terlalu berarti dibanding gagasan dan perbuatan langsung dalam usaha mewujudkan gagasan itu dan inilah yang di lakukan soekarno . Konsep Demokrasi terpimpin yang hendak membawa PKI masuk kedalam kabinet ini juga menyebut-nyebut akan di bentuknya lembaga negara baru yang ekstra konstitusional yaitu ( Dewan Nasional), yang akan di ketuai oleh soekarno sendiri yang bertugas memberi nasehat kepada kabinet maka untuk itu harus di bentuk kabinet baru yang melibatkan semua partai termasuk PKI serta di bentuk Dewan penasehat tertinggi dengan nama “Dewan Nasional” yang beranggotakan wakil-wakil seluruh golongan fungsional.

Menurut Yusril Ihza mahendra, sebelum “Dewan Nasional” ini dibentuk gagasan awal tentang namanya adalah “Dewan Revolusi” (DR), namun akhirnya dinamai dengan “Dewan nasional” (DN). Dewan ini diketuai oleh presiden, namun dalam prakteknya sehari-hari diserahkan kepada Roeslan abdul gani, walaupun Dewan Nasional ini tidak ada dasarnya dalam konstitusi.-,, Artinya “Dewan Nasional ini tidak sejalan dengan konstitusi yang ada pada waktu itu. Dan peranannya memang cukup menentukan yaitu sebagai “penasihat” pemerintah yang dalam praktiknya telah menjadi semacam DPR bayangan di samping DPR hasil pemilu 1955. dan adapun Dewan Nasional yang di sebutkan diatas adalah hasil bentukan kabinet juanda yang segera terbentuk setelah sebelumnya kabinet Ali sastro amidjoyo tidak mampu bertahan lagi.

Setelah dekrit presiden 5 juli 1959 kabinet Juanda menyerahkan mandatnya kepada presiden melalui pemberlakuan kembali proklamasi dan UUD 1945, presiden Soekarno langsung memimpin pemerintahan bahkan bukan saja kepala negara tetapi juga kepala pemeritahan yang membentuk kabinet yang mentri-mentrinya tidak terikat kepada partai. Dan pada waktu-waktu inilah Dewan Nasional itu mulai di gagas.

Pembentukan Dewan Nasional ini, berdasarkan atas (SOB) atau amanat keadaan darurat dan bahaya perang yang di umumkan oleh presiden soekarno sebelum terbentuknya kabinet Juanda itu, mengingat Indonesia di hari-hari itu memang dalam keadaan genting dan potensi kionflik yang lebih besar segera mengancam keutuhan NKRI. Salah satunya dengan terjadinya gejolak ingin memisahkan diri beberapa Daerah dari NKRI.

Dalam kurun waktu yang kian genting pada kenyataan sejarah waktu-waktu itu, dan dengan terbentyknya PRRI di Padang di tambah dengan pulangnya pimpinan-pimpinan Masyumi dari jakarta menuju padang, karena waktu itu di jakarta mereka merasa kurang aman dari fihak-fihak yang kontra dengan mereka serta sekaligus berencana memantapkan pemerintahan revolusioner yang mereka cita-citakan dengan mengangkat “Syafruddin parawiranegara” sebagai mentrinya,(beliau juga pernah menjadi pemangku jabatan Pemimpin pemerintahan darurat Republik indonesia (PDRI) bi bukit tinggi, beliau sebenarnya putera kelahiran Banten tapi ayahnya berasal dari Sumatera Barat)Pen. Dan PRRI ini segera mendapat sambutan hangat di indonesia bagian timur, aceh, dan Indonesia tengah yang telah terlebih dahulu mengusahakan perjuangan melalui DI/TII yang terkenal itu. Walaupun pada akhirnya usaha ingin memisahkan diri, yang diupayakan berbagai daerah ini berhasil ditumpas.
Sementara kegentingan demi kegentingan yang terjadi, sukarno sebagai seorang organisator dan sekaligus pengagum persatuan dan kesatuan, tidak tinggal diam dan tidak kehabisan akal.

Soekarno melakukan upaya dengan menggandeng 2 kekuatan besar dan yang paling bagus organisasinya dan paling potensial di indonesia pada waktu itu, yaitu PKI dan AD atau militer. Walaupun pada kenyataannya kedua kekuatan ini selalu pro dan kontra antara satu sama lain, namun bisa jinak ditangan seorang politikus kaliber soekarno.

Mula-mula 2 kekuatan ini di manfaatkannya pada isu imperialisme dan kapitalisme yang masih mengancam Indonesia, berhubung pada waktu itu Irian Barat masih dikuasai oleh penjajah dan isu ini di pakai soekarno untuk mengamanatkan agar Irian barat selekas-lekasnya dapat di bebaskan serta upaya untuk mengembalikan indonesia dalam posisi pemerintahan secara utuh.

Dalam teorinya dapat kita baca bahwa: soekarno, membutuhkan PKI karena merasa terancam akan Kudeta yang dilakukan Militer pada waktu itu atau AD pada khususnya sebagai kekuatan potensial yang sewaktu-waktu dapat merong-rong Soekarno dari tampuk pimpinan. Dan di samping itu menurut Afan ghafar soekarno memiliki agenda sendiri.

Dalam hubungannya dengan PNI, yang merupakan partai binaannya sejak awal, untuk sementara waktu soekarno keluar dari PNI dahulu, Karaena beliau tahu pasti kalau pengikut PNI sesungguhnya sudah ditangannya. Dan dia merangkul kekuatan PKI sebagai kekuatan yang menentukan massanya di Indonesia pada waktu itu, ketika soekarno telah mendapatkan PKI sebagai kekuatan besar, maka otomatis kekuatan yang lain dari PNI partainya yang disebutkan diatas menggabungkan diri dengan PKI walaupun ada juga yang tidak bergabung. Namun pada akhirnya gabungan kedua partai tersebut terbentuk menjadi masa yang besar dan siap untuk di mobilisasi.

Sedangkan apabila kita lanjutkan analisisnya, antara PKI dan AD yang sering berbeda pendapat sewaktu-waktu dapat di adu kekuatannya dan soekarno jadi wasitnya.

Sementara itu menurut keterangan yusril Ihza Mahendra, sejalan dengan gagasan “Demokrasi Terpimpin” Kalangan tentara di bawah pimpinan Mayjend Abdul Haris Nasution, aktif berkampanye tentang perlunya kembali ke undang-undang 1945. nilai-nilai dan semangat demiukian menurut A.H. Nasution akan tetap terpelihara jika negara kembali kepada UUD dan dan proklamasi, yakni UUD 1945. ide soekarno ini tampaknya bertemu dengan Ide soekarno dalam rangka menerapkan demokrasi Terpimpin. Sebab menurut Yusril, demokrasi semacam itu memang menghendaki adanya pemusatan kekuasaan di tangan presiden, sementara UUD 1945 memungkinkan perwujudan hal itu, (maksudnya sebelum di amandemen karena buku yang penulis kutip dari buku karangan 1996.) sebaliknya, jika menunggu konstituante menyelesaikan tugasnya memnyusun Undang-Undang yang baru belum tentu isinya sama dengan gagasan demokrasi terpimpin tadi. Dan gabungan ide Soekarno dan A.H. Nasution ini disampaikan kesidang Dewan Nasional dan dewan berpendapat bahwa gagasan Demokrasi terpimpin dapat terlaksana jika dikembalikan kepada UUD 1945. kemudian di bawa kerapat kabinet dan didalam rapat itu juga disetujui tentang Gagasan Demokrasi Terpimpin tersebut. Dalam sidang kabinet tesebut di hadiri oleh Idcham Chalid seorang tokoh NU, beliau tidak memberikan komentar apa-apa terhadap usulan Dewan Nasional sehingga perdana mentri Juanda padawaktu itu mengira bahwa NU setuju dengan gagasan itu.

Keputusan Dewan Mentri tersebut disampaikan perdana mentri Juanda, kepada sidang paripurna DPR, yang berjudul “ Putusan Dewan Mentri mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945”.

Dalam keterangan itu PM. Juanda mengatakan sbb: untuk mendekati hasrat golongan Islam, berhubung dengan penyelesayan dan pemeliharaan keamanan, di akui adanya piagam Jakarta tertanggal 22 juni 1945 sebagai dokumen historis. Dengan kembali ke UUD 1945, tambahnya , pelaksanaan Demokrasi Terpimpin akan lebih terjamin, disamping akan mampu mengembalikan seluruh ptensi nasional” termasuk golongan Islam”. Guna” di putuskan kepada penyelesayan keamanan dan pembangunan di seluruh bidang.”


C. Demokrasi Terpimpin Ditinjau dari Demokrasi Moderen.

Dalam Priode Demokrasi terpimpin pemikiran Demokrasi ala Barat banyak di tingalkan bahkan lebih nampak gambarannya manakala Demokrasi parlementer sebelumnya berkuasa di indonesia karena mengacu pada latar belakang pendidikan penggagasnya, yaitu yang pernah sekolah di luar negeri seperti Drs. M.Hatta dan Syahrir,walaupun gagasannya tidak 100% persis barat karena di sana sini berhubungan juga dengan islam,Nasionalis dan Lokal.

Soekarno sebagai pemimpin tertinggi pada era Demokrasi terpimpin menyatakan bahwa Demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian BI, prosedur pemungutan suara, dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakan sebagai tidak efektif dan kemudian Soekarno memperkenalkan dengan apa yang di sebut dengan”Musyawarah untuk mufakat”

Banyaknya partai politik oleh bung karno adalah penyebab tidak adanya pencapayan hasil dan sulit dicapai kataq sepakat karena terlalubanyak berdebat atau bersitegang urat leher.

Dari kacamata demokrasi moderen Kita menyaksikan semuanya di rubah,semua berubah,dan semua kelihatan berganti dan semua diganti tapi sesungguhnya tidak ada yang berganti dan berubah, yang pada hari ini semua serba mudah dan terkesan di mudahkan dan hampir kebablasan.Memang Demokrasi Terpimpin agak terasa asing Namun apa yang terjadi dimasalalu karena kehendak waktu dan peristiwa menginginkan demikian pada hari-hari itu, Dimana ketika kita dihadapkan kepada dua pilihan yakni: apakah kita mau di gembleng untuk sementara waktu demi sejarah yang mengoyak ngoyak bangsa selama-beberapa lamanya, ataukah kita siap bercerai berai dari kesatuan Negara Republik Indonesia yang artinya kita semakin lemah?.


D.Konsep Nasakom Dalam Demokrasi Terpimpin.
 
Bung Karno sampai dengan akhir hayatnya tetap bertahan terhadap ide Nasakom yang mengatakan bahwa kekuatan politik di Indonesia pada saat itu terdiri dari tiga golongan ideologi besar yaitu: golongan yang berideologi nasionalis, golongan yang berideologi dengan latar belakang agama, dan golongan yang berideologi komunis. Tiga-tiganya merupakan kekuatan yang diharapkan tetap bersatu untuk menyelesaikan masalah bangsa secara bersama-sama.

Apakah dengan punya ide Nasakom tersebut bisa dikatakan bahwa Bung Karno adalah seorang Marxis yang lebih dekat dengan golongan komunis pada saat itu? Setiap orang boleh punya persepsi dan pendapatnya sendiri untuk hal ini. Tapi yamg nyata Bung Karno adalah seorang Nasionalis, yang ide Nasakom semata-mata dicetuskan melihat realitas masyarakat pada saat itu demi persatuan. Indonesia menginginkan suatu kolaborasi total semua anasir bangsa dari semua golongan ideologi yang ada termasuk golongan komunis untuk berama-sama bahu membahu membangun Indonesia. Walaupun tidak bisa dipungkiri memang Bung Karno pada periode 1959-1965 sangat terlihat lebih condong memberi angin kepada golongan komunis.

Barangkali juga ide Bung Karno tentang Nasakom berkaitan dengan pendapat Clifford Geertz yang dalam bukunya The Religion of Java yang membagi masyarakat Jawa dalam tiga varian: priyayi, santri, dan abangan. Yang bisa diterjemahkan priyayi adalah kaum Nasionalis, santri adalah kaum Agamis, dan abangan adalah kaum Komunis.

Realitas sejarah memang berkata lain setelah terjadi peristiwa 30 September 1965 yang sampai sekarang masih menyimpan misteri dan banyak versi diceritakan dari berbagai pihak bagaimana kejadiannya sampai terjadi pembunuhan para Jendral dan PKI dituduh yang telah melakukan semua ini dan tentara melakukan pembalasan dengan menumpas PKI sampai dengan akar-akarnya.

Suatu realitas yang mungkin Bung Karno tidak pernah menyangka ataupun mimpipun mungkin tidak, bahwa ada satu golongan kekuatan dalam peta politik di Indonesia yang tidak pernah terpikirkan menjadi suatu kekuatan penting dalam peta perpolitikan Indonesia yaitu kaum militer.

Bung Karno walaupun bukan orang militer, selalu memakai pakaian lengkap militer Panglima Tertinggi – Jendral Bintang Lima – dengan segala atribut kebesarannya, kata beberapa analis ini adalah salah satu diplomasi model Bung Karno untuk meredam ambisi dan kekuatan militer untuk berkuasa

Setelah terjadi peristiwa 30 September 1965, serta merta ide Nasakom musnah dan aneh bin ajaib kekuatan kaum komunis serta merta digantikan oleh satu kekuatan politik baru di Indonesia yaitu kaum militer. Walaupun dengan segala dalih, kaum militer tidak pernah mengakui bahwa mereka adalah satu kekuatan politik yang telah mendominasi Indonesia selama 32 tahun. Mereka selalu mengatakan bahwa militer berdiri dibelakang semua golongan.

Kesimpulannnya bahwa realitas politik di Indonesia semenjak jaman kemerdekaan sampai dengan saat ini pernah ada empat golongan kekuatan politik: kaum nasionalis, kaum agamis, kaum komunis, dan kaum militer (dan motor politik pendukungnya). Masing-masing kekuatan politik pernah mengalami jaman keemasan dan juga pernah terhempas dalam kancah politik di Indonesia. Dalam realitasnya setiap golongan kekuatan politik yang pernah mendominasi kekuasaan dan menjalankan pemerintahan Republik Indonesia belum ada yang mampu mengantarkan Indonesia menuju cita-cita bangsa untuk menjadi negara yang adil, makmur dan sejahtera.

. Pada awal kemerdekaan kaum nasionalis dengan motor politiknya PNI (Partai Nasional Indonesia) pernah memegang dominasi pemerintahan sampai pada sekitar tahun 1959. Setelah Bung Karno membuat dekrit pada tanggal 1 Juli 1959 untuk kembali ke UUD ’45, maka kekuasaan mutlak ada di tangan Bung Karno yang lebih memberikan angin pada kaum komunis untuk mendominasi kancah politik di Indonesia (atau terbawa oleh strategi kaum komunis) pada periode 1959 s/d 1965

KESIMPULAN

Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya .

Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan “Kembali ke UUD’ 45”. Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.

PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.

NASAKOM telah menjadi NASA yang pada waktu antaranya kom-nya telah musnah dan pernah digantikan kaum militer. Memang dari empat golongan ideologi yang pernah ada di Indonesia: golongan nasionalis, golongan agamis, golongan komunis, dan golongan militer hanya golongan agamis yang belum pernah menonjol dalam menjalankan pemerintahan eksekutif. Mungkin momentumnya telah tiba, apabila memang golongan agamis bisa menunjuknan dirinya sebagai partai yang bersih, tidak terkontaminasi penyakit korupsi (masalah utama bangsa kita). Mungkin partai dengan haluan agamis akan menjadi pilihan alternatif dikarenakan partai-partai besar yang ada saat ini telah gagal mengantarkan Indonesia menjadi negara yang seperti diamanatkan pada pembukaan UUD ’45: suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk adat.

Salam: Soekarno

Monday, June 12, 2017

Yuk Becanda (Tertawa menambah umurmu 1 hari)


Tertawa menambah umurmu satu hari, melihat-lihat di facebook banyak artikel-artikel lucu tapi memiliki makna yang baik........Salah satu foto edit diambil dari account facebook Voglio Solo Amore sangat baik untuk dishare dan membuat saya tertawa terbahak-bahak....terima kasih telah menambah umur saya.....

Share Article : Desa dan Pendekatan Pembangunan yang Relevan




Artikel Oleh : Zamruddin Hasid

Desa harus jadi kekuatan ekonomi
Agar warganya tak hijrah ke kota
Sepinya desa adalah modal utama
Untuk bekerja dan mengembangkan diri

Walau lahan sudah menjadi milik kota
Bukan berarti desa lemah tak berdaya
Desa adalah kekuatan sejati
Negara harus berpihak pada para petani …

(Dikutip dari Lagu Desa, karya Iwan Fals, 2005)

SEBUAH negara meliputi kumpulan wilayah perdesaan dan perkotaan, bahkan Indonesia yang memiliki wilayah yang cukup luas, dibangun dan bergantung dari wilayah perdesaan. Desa diibaratkan sebuah sumber yang memercikkan “segala potensi alam” yang dikelola oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Petani, berharap banyak dari alam. Penambang, berburu isi dari alam. Pelaut (nelayan), pergi berlayar mendapatkan hasil tangkapan dari alam. Warga kota mengharapkan hasil alam dari desa (dari sektor pertanian) berupa bahan makanan (food) dan bahan mentah (raw material). Dan, semua bermula dari wilayah desa dan pesisir.

Di luar dari segenap urgensi keberadaan dan potensi alam yang dimilikinya, Desa identik dengan ketertinggalan. Kita bisa menyimak betapa mirisnya kehidupan perdesaan di daerah terpencil, misalnya Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara. Bahkan di wilayah maju seperti Pulau Jawa, wilayah desa pun masih terbelakang. Betapa akses dasar begitu minim, yang membuat orang-orang tak berdaya mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya. Namun, sebaliknya kota begitu digdayanya. Infrastruktur massif di mana-mana. Gedung tinggi menjulang, hiruk pikuk manusia berseliweran, hingga kriminalitas.

Ketertinggalan desa, secara konseptual disebabkan model pembangunan yang belum tepat. Pola pembangunan trickle down effect yang difokuskan ke wilayah perkotaan memang menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang fantastis. Sayangnya, biaya opportunitas yang dikorbankan adalah ketertinggalan wilayah lain, utamanya adalah wilayah perdesaan. Desa yang mayoritas mengandalkan sektor ekonomi primer/tradisional (pertanian dalam arti luas) justru termarjinalkan oleh kebijaksanaan ekonomi moderen.

Efek pertumbuhan di perkotaan, mendorong warga desa—yang produktif—, berpikir realistis: mengadu nasib ke kota (urbanisasi). Praktis, tenaga produktif desa yang merupakan motor penggerak pembangunan desa lenyap. Beberapa penelitian juga menemukan fakta kurang berkembangnya kesempatan kerja dan rendahnya produktivitas kerja di sektor ekonomi pedesaan berdampak mengalirnya tenaga kerja usia muda terdidik ke wilayah perkotaan (Spare and Haris, 1986; Manning 1992). Salah satu penyebab lambannya peningkatan produktivitas tenaga kerja adalah lambanya peningkatan upah riil buruh pertanian (Manning dan Jayasuria, 1996 ; White, 1992) atau mengalami stagnasi, sementara itu upah riil non tani terus mengalami penurunan (Erwidodo dkk, 1993).



Kondisi demikian akhirnya hanya menyisakan angkatan kerja yang belum layak kerja atau tak punya keterampilan memadai. Sektor ekonomi yang tidak didukung sarana dan tenaga kerja memadai, praktis pula hanya menghasilkan produktivitas (nilai tambah) yang kecil dan menimbulkan kemiskinan. Sudah mafhum, bahwa realitas kemiskinan di negara ini direpresentasikan di perdesaan. Umumnya mereka menjadi petani buruh atau pekerja serabutan di luar pertanian. Banyak juga dari mereka jadi pekerja bebas (self employed), melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Dengan kondisi demikian—keterampilan dan lapangan kerja sangat limited—, maka upah sangat rendah.

Desa dan Hegemoni Sistem Kapitalis

Sistem ekonomi kapitalis yang menjadi tools pembangunan modern khususnya di perkotaan sekarang ini, sejujurnya—disadari atau tidak—menghambat perkembangan desa. Desa hanya dijadikan wilayah penjajahan gaya baru di mana segala potensinya (hasil alamnya) digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat kota melalui transaksi perdagangan. Serupa yang dikatakan Sri Edi Swasono, “Ekonomi rakyat yang low cost mendukung (mensubsidi) ekonomi besar di atasnya yang high-cost” (Lihat “Pembangunan Menggusur Orang Miskin, Bukan Menggusur Kemiskinan – http://www.ekonomirakyat.org).

Harus kita sadari, ketertinggalan pembangunan di perdesaan muncul dari kekecewaan juga kecemburuan masyarakat perdesaan terhadap moderennya kota. Inilah mengapa banyak sekali program-program pemerintah yang kurang mendapat perhatian. Lantas, bisakah dengan keadaan demikian pembangunan desa akan berhasil?

Idealnya, harus ada sebuah keseimbangan antara pembangunan di perkotaan (urban) dan pembangunan di perdesaan (rural), terutama sekali juga antara pembangunan sektor industri dan sektor pertanian. Istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani.

Strategi Membangun Desa: Fakta Empiris dan Kegagalannya?

Jika dilihat secara empiris. Pemerintah sejak era Orde Baru (Pelita IV), sebenarnya telah mendorong sebuah program yang sangat baik: Penempatan Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan (S-P3). Pemerintah sudah menerjunkan lebih dari 4000-an sarjana ke desa dengan harapan mereka dapat menjadi motivator, menciptakan lapangan kerja, menyuluh warga desa, mendidik warga terkait industri rumah tangga, sampai kepada pemasaran hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan. Kelemahan dari program ini karena para sarjana yang dikirimkan ke desa justru enggan. Hal ini disebabkan, rendahnya upah kerja yang terdapat di perdesaan dan faktor psikologis lulusan sarjana yang umumnya “gengsi” bekerja di desa. Akibatnya para sarjana yang semula diharapkan menggerakkan pembangunan desa justru kembali berurbanisasi ke kota (back to urban).

Pemerintah juga menggadang-gadang program Inpres Desa Tertinggal (IDT), sekitar awal tahun 1993. Semacam upaya dari pemerintah untuk membangun secara “spontan” desa-desa yang tertinggal. Tujuannya untuk memutus arus lingkaran setan kemiskinan, dengan pemberian bantuan modal dan proses perubahan (transformasi struktural) lingkungan orang-orang miskin di perdesaan. Diharapkan program IDT ini menjadi stimulan atau perangsang kegiatan pemberdayaan ekonomi desa ke tahap yang lebih maju.

Kegagalan program IDT ini disebabkan terlalu fokus kepada variabel ekonomi. Melalui pendekatan ekonomi yang berkisar soal pemberian pinjaman uang/bantuan fisik. Tanpa melihat kesiapan warga, pemahamannya, dan pengawasannya. Variabel lain yang sebenarnya turut berperan seperti nilai moral, sikap budaya, kondisi politik, dan kelembagaan, justru kerap dikesampingkan. Akibatnya, masyarakat tidak mampu mendinamisasikan segenap potensinya. Strategi yang tepat adalah terlebih dahulu membangun sikap dan pemahaman (character building) masyarakat desa melalui program non-ekonomi seperti sosial kultural dan infrastruktur.

Pendekatan Relevan Membangun Desa

Penulis merasa yakin bahwa membangun desa harus dimulai dari perubahan paradigma. Desa jangan diidentikkan suatu entitas yang “senantiasa” tertinggal dalam segala hal. Persepsi desa tertinggal, harus diubah menjadi desa yang memiliki segenap potensi, masyarakat yang punya semangat kemajuan. Desa perlu dimoderenisasi, namun tidak meninggalkan nilai-nilai budaya tradisional dan kearifan lokal (local wisdom).

Desa yang moderen tampak dari tersedianya sarana-prasarana, infrastruktur, dan akses dasar yang menunjang masyarakatnya memiliki kapabilitas untuk hidup dengan kualitas lebih baik dan dapat mengaktualisasikan segenap potensinya. Masyarakatnya secara umum memiliki tingkat pendapatan yang mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan, seperti pangan, kesehatan dan gizi, pendidikan, perumahan dan lingkungan hidup atau dengan kata lain kuat dari segi ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan dan politik.

Pembangunan desa juga merupakan pembangunan masyarakatnya (community development). Sehingga fokus pembangunan lebih diarahkan pada peningkatan kualitas mutu manusia yang berdiam di desa. Utamanya adalah meningkatkan pelayanan pendidikan (dasar dan menengah) dan pelayanan kesehatan (gizi).

Wilayah perdesaan yang selama ini juga sangat kental dengan sektor pertanian sebagai urat nadi penggerak perekonomian, sebaiknya dimodifikasi dengan pembaharuan teknologi. Modifikasi bukan berarti mengganti sektor ini ke sektor lain yang lebih “menjanjikan”, tetapi menjadikan sektor ini lebih berorientasi ke bisnis (agribisnis) berbasis technology oriented sehingga produktivitas mengalami peningkatan.

Salah satu contoh pendekatan pembangunan perdesaan di sektor pertanian (sub-sektor peternakan) adalah Program Sarjana Membangun Desa (SMD). Kementerian Pertanian RI, melalui Direktorat Jenderal Peternakan. Program SMD ini merupakan pemberdayaan kelompok peternak yang akan melalui pendampingan kelompok sekaligus penyaluran dana penguatan modal usaha. Tujuan program ini untuk memperkuat modal usaha, sarana dan prasarana dalam mengembangkan usaha peternakan; meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan peternak; meningkatkan kemandirian dan kerja sama kelompok; mendorong tumbuh dan berkembangnya pelaku agribisnis muda dan terdidik pada usaha peternakan; mengembangkan sentra-sentra kawasan usaha peternakan. Adapun sasaran pelaksanaan kegiatan Sarjana Membangun Desa Tahun 2010 ditargetkan 700 Sarjana dan 700 Kelompok.

Pada tingkat mikro, ketersediaan tenaga kerja di perdesaan hendaknya terus diberdayakan dalam suatu wadah yang dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada dan didukung oleh pembangunan pertanian yang spesifik lokasi dan mempunyai daya saing yang tinggi, serta pengembangan sektor non-pertanian yang berbasis ekonomi kerakyatan. Dalam bidang ekonomi, usaha dan pekerjaan masyarakat diarahkan pada peningkatan local productivity secara kontinyu, sehingga mampu menciptakan keuntungan dan meningkatkan tabungan masyarakat di pedesaan. Dalam hal ini, penguasaan teknologi dan keterampilan oleh masyarakat dapat dijadikan sebagai modal dasar dalam pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kondisi sosial pada wilayah perdesaan.

Namun demikian, pembangunan pertanian di perdesaan dengan basis agribisnis ini juga tidak perlu berlebihan. Karena akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Keberadaan mereka ini masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung keuntungan dan kerugiannya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilan dan moral manusianya. Pembangunan pertanian harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.

Indonesia merupakan negara kepulauan di mana ada lima pulau besar yang menghuni wilayahnya yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Karakteristik dan potensi dari wilayah tersebut tentu saja memiliki “keunikan” tersendiri khususnya wilayah perdesaannya. Karena itu, pembangunan perdesaan di Indonesia sebaiknya tidak digeneralisasi, tetapi dispesifikasikan sesuai dengan kondisi wilayah perdesaan masing-masing. Karena berbeda pulau, berbeda karakter.

Diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang pembagian kewenangan pusat dan daerah, menandai dimulainya kewenangan daerah secara otonom dalam membangun daerahnya. Salah satu cara atau pendekatan yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam membangun wilayah perdesaan adalah melibatkan seluruh stakeholder daerah, mengingat kemampuan pemerintah daerah—khususnya keuangan— sangat terbatas. Misalnya bekerjasama dengan sejumlah perusahaan besar untuk mengoptimalkan penggunaan dan pengawasan dana-dana corporate social responsibility (CSR) khususnya yang ditujukan bagi pembangunan wilayah perdesaan.

Program kerja sebaiknya difokuskan pada pemberdayaan dan perbaikan ekonomi rakyat yang diawali perubahan pola pikir masyarakat (manusia), karena akan langsung mempengaruhi perbaikan kondisi kesejahteraan sosial secara umum. Indikatornya adalah peningkatan pendapatan perkapita. Untuk melakukan usaha perbaikan ekonomi masyarakat, pemerintah perlu secara rinci fokus kepada program yang jelas berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan status sosial masyarakat perdesaan di daerahnya. Jadi di masa mendatang, sasaran pembangunan pemerintah daerah pada wilayah pedesaan hendaknya difokuskan pada tiga determinan pokok, yaitu pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan dan status kesehatan.

 *) Zamruddin Hasid, Guru Besar Kebijakan Pembangunan Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman.

 Kirimkan Saran anda  Untuk NTT Melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........

Share Article : Membangun Bangsa melalui Pendidikan Karakter



Artikel Oleh: Aswandi

Dosen FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak
( https://inspirasitabloid.wordpress.com)

BUNG Karno pernah mengatakan, “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli”, demikian Soemarno Soedarsono (2009) dalam bukunya “Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang”.

Mahatma Gandhi mengatakan hal yang sama, “Kualitas karakter adalah satu-satunya faktor penentu derajat seseorang dan bangsa”. Pembangunan watak (character building) adalah amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Bangsa yang berkarakter unggul, disamping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang baik juga ditandai dengan semangat, tekat dan energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dan sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi”.

Ratna Megawangi juga mengatakan hal yang sama, “Segala sesuatunya karena karakter”. Dan membangun karakter (character building) telah menjadi keinginan semua orang, terutama para pendiri bangsa ini. Karakter yang baik lebih dari sekedar perkataan, melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian, usaha keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan hidup”, dikutip dari Maxwell (2001) dalam bukunya ”The 21 Indispensable Qualities of A Leader”.

Mohammad Nuh selaku Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutannya pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional  2010 menegaskan kembali hal yang sama, yakni pentingnya pembangunan karakter dan pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa ini karena diyakini pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, melainkan juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun, sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna, baik bagi dirinya maupun masyarakat pada umumnya.

Pendapat di atas menjelaskan bahwa keharusan membangun karakter bangsa, tidak semata karena alasan keterpurukan peradaban bangsa saat ini sebagaimana telah digambarkan oleh Mochtar Lubis, bahwa karakteristik bangsa ini, antara lain; “(1) hipokrit atau munafik; lain di mulut dan lain di hati; (2) enggan bertanggung jawab; (3) bermental menerabas, ingin kaya tanpa berusaha dan ingin pintar tanpa belajar; (4) feodalistik; (5) masih percaya tahyul; (6) artistik/menjaga penampilan/bergaya; (7) berwatak lemah sehingga dengan mudah dirubah keyakinannya demi kelangsungan hidup; (8) senang bernostalgia/efouria masa lalu; (9) cepat marah; dan (10) tukang lego untuk ditukar dengan yang lain asal dapat uang tunai, melainkan juga pentingnya pendidikan karakter ini karena diyakini bahwa segalanya karena karakter.

Thomas Lickona, salah seorang developemental psychologist mengemukakan dimensi karakter; “The dimensions of character are knowing, loving, and doing the good”. Ia kemukakan pilar karakter meliputi; (1) trustworthiness; (2) respect; (3) responsibility; (4) fairness; (5) caring; and (6) citizenship.

Para pakar pendidikan karakter lain mengelompokkan karakter ke dalam 9 pilar, yakni; (1) cinta Tuhan dan ciptaannya; (2) kemandirian dan tanggungjawab; (3) kejujuran, amanah, dan bijaksana; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka menolong, dan gotong royong; (6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi, kedamaian dan kesatuan.

Usaha membentuk karakter yang baik bukan pekerjaan mudah,  memerlukan pendekatan komprehensif yang dilakukan secara  sistematis dan berkesinambungan, mulai dari sejak kecil di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Membangun Karakter Melalui Pikiran

Sebuah motto; ”Perhatikan pikiran anda karena ia akan menjadi kata-kata anda. Perhatikan kata-kata anda karena ia akan menjadi perbuatan anda. Perhatikan perbuatan anda karena ia akan menjadi kebiasaan anda. Perhatikan kebiasaan anda karena ia akan menjadi karakter anda. Dan perhatikan karakter anda karena ia akan menjadi takdir anda”.

Kelakuan dan pikiran manusia menjadi tema kajian menarik sejak dulu hingga saat ini. Tempo hari dua konsep tersebut hanya dipelajari oleh kalangan terbatas, tetapi sekarang dipelajari oleh banyak orang dari berbagai disiplin ilmu.

Selain itu sebuah fakta menunjukkan bahwa banyak orang mengerutkan mukanya ketika melihat orang lain melamun, dan orang yang kelihatan sering melamun dianggap malas dan tidak punya ambisi. Isaac Newton pernah ditanya bagaimana dia menemukan hukum gravitasi. Ia menyawab; “dengan melamunkannya”. Emerson sependapat bahwa “kita semua ini hampir selamanya menjadi apa yang kita lamunkan”.

Ternyata melamun memikirkan keadaan yang ingin dicapai sangat konstruktif, demikian kata Hooper (2000) dalam bukunya berjudul; “You Are What You Think”.

Kegagalan hidup ini lebih disebabkan oleh “Kesalahan Berfikir atau Ketidakcerdasan Melamun” dan kealpaan kita memahami dan menggunakan kekuatan pikiran alam bawah sadar, kata Joseph Murphy (1997) dalam bukunya “The Power of Your Subconsious Mind”. Peter F. Drucker mengatakan, “kegagalan menyelesaikan persoalan bukanlah karena kompeksitas persoalan tersebut, melainkan karena kesalahan berfikir kita, dimana kita menggunakan cara berpikir kemarin untuk menyelesaikan masalah sekarang”.

Para pakar mengkaji secara lebih mendalam tentang cara berpikir manusia melalui berbagai metode, pendekatan, dan analisis, seperti melalui “Meta Analysis”. Mereka menemukan bahwa cara berpikir manusia ternyata bersumber dari “sistem keyakinan” (belief system) dan “genetik tuhan” yang ada dalam pikirannya, demikian kata Zohar & Marshall (2001) dalam “Spritual Quotion; Dean Hamer (2006) dalam “The God Gene”; James J. Mapes (2003) dalam “Quantum Leap Thinking” dan Bill Gould (2006) dalam “Transformational Thinking”.

Perjalanan intelektual manusia tersebut telah menggeser aksioma paradigma ilmu pengetahuan dari rasional ke sakral/spritual, dan dari positivisme ke naturalisme. Dan bahkan ranah yang selama ini diyakini sangat sakral seperti agama juga mengalami berbagai pergeseran paradigmatik dan menjadi kajian menarik pada saat ini sebagaimana terdapat pada berbagai karya tulis Fritjof Capra misalnya.

Zig Ziglar (2001) dalam bukunya “Something Else to Smile About” mengatakan bahwa “apa yang masuk ke pikiran kita dan dengan siapa kita bergaul mempengaruhi pikiran kita. Pemikiran kita mempengaruhi tindakan-tindakan kita. Tindakan-tindakan kita mempengaruhi prestasi kita dan prestasi kita sangat berperan dalam seberapa sukses serta bahagia masa depan kita nantinya”.

Brian Tracy (2006) dalam bukunya; “Change Your Thinking Change Your Life” mengatakan; ”seseorang akan menjadi seperti apa tergantung seperti apa yang paling sering diimpikan selama ini. Pikiran-pikiran yang lahir dari otak mengendalikan dan menentukan hampir semua yang terjadi pada diri seseorang. Pikiran dapat membuat seseorang menjadi mampu melakukan apapun atau membuat seseorang merasa tidak berdaya, menjadi seorang pecundang atau pemenang, menjadi seorang pahlawan atau pengecut”.

William James mengatakan hal senada, yakni “terdapat sebuah hukum dalam ilmu psikologi yang menyatakan bahwa jika seseorang membuat bayangan dalam benak dan pikirannya tentang ingin jadi apa ia kelak, dan mempertahankan bayangan tersebut dalam benak/pikirannya dalam waktu cukup lama dengan segera seseorang menjadi seperti dalam bayangan dan pikirannya itu”. Dengan mengubah aspek dalam fikirannya, manusia bisa mengubah aspek luar kehidupan mereka.

Teori mengatakan bahwa setiap orang akan mengembangkan berbagai keyakinan tentang dirinya sendiri (self consept), dimulai sejak dia lahir, kemudian akan menjadi program master yang menggerakkan computer bawah sadar, menentukan apa saja yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan dilakukannya. Oleh karena itulah, semua perubahan yang terjadi pada kehidupan lahiriah seseorang selalu dimulai dari perubahan pada konsep dirinya atau bagaimana seseorang berpikir tentang dirinya.

Maxwell Maltz (2004) seorang ahli pedah plastik yang kemudian lebih dikenal sebagai pakar psikologi sibernetik dalam bukunya; “The New Psycho-Cybernetics” mengemukakan hasil penelitiannya terhadap ribuan pasien yang melakukan operasi bedah plastik guna meningkatkan performansinya. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat pengaruh signifikan (hanya sebagian kecil, yakni 3%) bedah plastik terhadap peningkatan performansi seseorang. Kemudian dilakukan penelitian lanjutan kepada sebagian kecil dari pasien tersebut dan disimpulkan bahwa peningkatan performansi pada mereka bukanlah karena telah terjadi perubahan fisiknya dimana mereka semakiin cantik/ganteng dan sebagainya, melainkan adanya perubahan keyakinan dan pikiran positif akan dirinya sendiri. Tidak terdapat perubahan perilaku nyata yang bisa berlangsung tanpa ada perubahan cara berfikir tentang diri. Dan siapa saja bisa merintis citra diri serta kehidupan baru yang serba lebih baik dengan merubah cara berfikir tentang citra dirinya yang terdiri dari self ideal, yakni harapan, impian, dan idaman, self image atau cermin diri (inner mirror), di sini kita sering-seringlah mentertawakan diri sendiri, dan self esteem atau seberapa besar seseorang menyukai dirinya sendiri. 

Tingkat atau kualitas self esteem seseorang ditentukan oleh seberapa cocok self image dan self ideal-nya. Sayang, citra diri seseorang telah dirusak oleh sebuah proses pembelajaran yang salah, sejak usia dini di rumah oleh orang tua yang seharusnya melaksanakan proses pendidikan berkualitas, kemudian diperburuk lagi oleh proses pendidikan di sekolah dan masyarakat.

Mengakhiri opini ini, penulis sampaikan bahwa perilaku manusia merupakan pengejawantahan dari pikirannya, dan kualitas kehidupan seseorang karena ia sendiri menciptakannya. Oleh karena itu berhati-hatilah memasukkan pesan ke dalam pikiran karena hal itu akan mempengaruhi kelakuan yang kemudian akan mempengaruhi masa depan, misalnya usirlah pikiran-pikiran negatif dengan memasukkan pikiran-pikiran positif, jadikan kritik sebagai pelajaran dan pujian sebagai peringatan.

Ingatlah, kebahagian tidak tergantung pada siapa anda atau apa yang anda miliki, melainkan hanya tergantung pada apa yang anda pikirkan, demikian kata Dale Carnegie.

Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat tiga hal penting yang mesti diperhatikan ketika ingin membangun bangsa melalui pendidikan berbasis karakter ini, yakni melalui; (1) pembiasaan; dan (2) contoh atau tauladan; dan (3) pendidikan/pembelajaran secara terintegrasi.

Pembiasaan,  kebiasaan memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, ia mengambil porsi yang cukup besar dalam usaha manusia. Islam menggunakan kebiasaan sebagai salah satu sarana pendidikan”, dikutip dari Ibrahim Hamd Al-Qu’ayyid (2005) dalam bukunya “10 Kebiasaan Manusia Sukses Tanpa Batas”.

Zig Ziglar (2001) dalam bukunya “Something Else to Smile” mengingatkan “Perhatikan kebiasaanmu, karena ia akan menjadi karaktermu”.

Ibn Miskawaih (1998) salah seorang pakar moral dan Etika dalam bukunya “Tahdzib Al-Akhlaq” menegaskan bahwa “Karakter manusia terletak pada fikirannya, dan dapat dicapai melalui pendidikan dan pergaulan, pengulangan atau kebiasaan dan disiplin”.

Joyce Divinyi (2003) dalam bukunya “Discipline Your Kids” mengatakan hal yang sama, bahwa “Otak membutuhkan pengulangan untuk membuat tingkah laku tertentu menjadi kebiasaan”.

Dr. Nuwer menjelaskan bahwa proses belajar berlangsung di wilayah sadar (cerebral cortex) di bagian luar, kemudian lama kelamaan dilakukan pengulangan akan menjadi sebuah pola pikiran atau perilaku yang baru, kegiatan tersebut berpindah ke wilayah otak bawah sadar (basal ganglia) yang bersifat otomatis. Semakin sering diulang, maka semakin otomatis dan tidak disadari tindakan itu, kebiasaan tersebut segera berubah dan lama kelamaan diperkuat. Melakukan dan memikirkan sesuatu secara berulang-ulang otak menyesuaikan diri dengan penciptaan jalur-jalur syaraf yang lebih rapat dan lebih efisien atau menjadi sebuah jalur neurologis bebas hambatan di otak. Para pakar neurofisiologi menyimpulkan temuan mereka, yakni otak mempunyai kemampuan yang menakjubkan untuk menerima pikiran atau perilaku yang berulang-ulang dan menyambungkannya ke pola-pola atau kebiasaan-kebiasaan yang otomatis dan di bawah sadar. Semakin sering mengulangi pikiran dan tindakan yang konstruktif, pikiran atau tindakan itu akan menjadi semakin dalam, semakin cepat, dan semakin otomatis”, demikian dikutip dari Paul G. Stoltz (2000) Adversity Quotient”. Stephen Covey mengatakan, “Karakter kita pada dasarnya disusun dari kebiasaan-kebiasaan kita. Karena bersifat konsisten, sering berpola yang tidak disadari, kebiasaan itu secara konstan, setiap hari, mengungkapkan karakter kita”, dikutip dari Paul G. Stoltz (2003) dalam bukunya “Adversity Quotient @ Work”.

Satu perilaku yang dilakukan secara konsisten/istiqamah, maka akan mampu membawa perubahan pada banyak perilaku.

Keteladanan, Abdullah Nashih Ulwan (1999) dalam bukunya “Tarbiyatul Aulad fil Islam” mengatakan “keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil atau membekas dalam mempersiapkan dan membentuk karakter, moral, spritual dan etos sosial anak”. Sesungguhnya sangat mudah mengajar anak tentang berbagai materi pembelajaran, tetapi akan menjadi teramat sulit bagi anak untuk menerima dan melaksanakan pembelajaran tersebut ketika ia melihat orang yang memberikan pengarahan dan bimbingan kepadanya tidak mengamalkannya. Anak belajar dari apa yang dilihat dan didengar dari lingkungannya. Anak melihat orang tuanya berdusta, ia tak mungkin belajar jujur. Melihat orang tuanya berkhianat, ia tak mungkin belajar amanah. Melihat orang tuanya selalu memperturutkan hawa nafsu, ia tak mungkin belajar keutamaan. Mendengar orang tuanya berkata kufur, caci-maki, dan celaan, ia tak mungkin belajar bertutur santun dan manis. Melihat kedua orang tuanya marah dan bertegang urat syaraf, ia tak mungkin belajar sabar, dan melihat kedua orang tuanya bersikap keras dan bengis, ia tak mungkin belajar kasih sayang”. Al-Maghribi (2004) mengutip ungkapan penyair Arab, “Kamu jelaskan obat kepada yang sakit agar ia sehat sementara anda sendiri sakit…”. Allah SWT mengingatkan dalam firmannya QS 2:44; “ “Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri atas kewajibanmu, padahal kamu membaca al-Kitab, maka tidakkah kamu berfikir?”

Riset Empati menyimpulkan; (1) terdapat korelasi positif antara empati dengan nilai akademik, (2) sekolah yang melibatkan siswa dalam latihan empati kepada masyarakat mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam reading comprehension, (3) empati berdampak pada meningkatnya pemikiran kritis dan pemikiran kreatif; (4) kecerdasan emosi mengurangi kekerasan dan meningkatkan perilaku prososial; (5) prilaku prososial yang ditunjukkan siswa di kelas adalah prediktor dalam prestasi akademik.

Menurut penelitian, perilaku yang mengembangkan empati, antara lain; menunjukkan dan menyontohkan perilaku empatik, responsif, nonotoriter, Sebaliknya, perilaku yang merusak; ancaman dan hukuman fisik, inkonsisten, lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat yang saling tidak menghargai dan menghormati.

Pendidikan dan pembelajaran  terintegrasi, Pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter, berbasis nilai, berbasis moral dan sejenisnya dirancang secara terintegrasi dengan pendidikan dan pembelajaran lainnya. Ia tidak dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran.

Keberhasilan pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter lebih ditentukan oleh strategi pembelajaran, disamping ditentukan oleh subject matter dan komponen lain pembelajaran, dalam arti bagaimana peserta didik mengkonstruksi informasi ka-karakter-an ke dalam otak dan pikirannya,  selain subject matter ke-karakter-an tersebut.

Informasi, baik berupa nilai, keyakinan dan pengalaman yang masuk ke alam sadar dan alam bawah sadar membentuk mindset yang kemudian sangat mempengaruhi pikiran seseorang, selanjutnya akan  mempengaruhi perilaku. Jadi perilaku kita adalah kelakuan kita.

 Kirimkan Saran anda  Untuk NTT melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........