Artikel Oleh
: Zamruddin Hasid
Desa harus jadi
kekuatan ekonomi
Agar warganya tak
hijrah ke kota
Sepinya desa adalah
modal utama
Untuk bekerja dan
mengembangkan diri
Walau lahan sudah
menjadi milik kota
Bukan berarti desa
lemah tak berdaya
Desa adalah kekuatan
sejati
Negara harus berpihak
pada para petani …
(Dikutip dari Lagu
Desa, karya Iwan Fals, 2005)
SEBUAH negara meliputi kumpulan wilayah perdesaan dan
perkotaan, bahkan Indonesia yang memiliki wilayah yang cukup luas, dibangun dan
bergantung dari wilayah perdesaan. Desa diibaratkan sebuah sumber yang
memercikkan “segala potensi alam” yang dikelola oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya. Petani, berharap banyak dari alam. Penambang, berburu isi dari
alam. Pelaut (nelayan), pergi berlayar mendapatkan hasil tangkapan dari alam.
Warga kota mengharapkan hasil alam dari desa (dari sektor pertanian) berupa
bahan makanan (food) dan bahan mentah (raw material). Dan, semua bermula dari
wilayah desa dan pesisir.
Di luar dari segenap urgensi keberadaan dan potensi alam yang
dimilikinya, Desa identik dengan ketertinggalan. Kita bisa menyimak betapa
mirisnya kehidupan perdesaan di daerah terpencil, misalnya Kalimantan, Papua,
dan Nusa Tenggara. Bahkan di wilayah maju seperti Pulau Jawa, wilayah desa pun
masih terbelakang. Betapa akses dasar begitu minim, yang membuat orang-orang
tak berdaya mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya. Namun,
sebaliknya kota begitu digdayanya. Infrastruktur massif di mana-mana. Gedung
tinggi menjulang, hiruk pikuk manusia berseliweran, hingga kriminalitas.
Ketertinggalan desa, secara konseptual disebabkan model
pembangunan yang belum tepat. Pola pembangunan trickle down effect yang
difokuskan ke wilayah perkotaan memang menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang
fantastis. Sayangnya, biaya opportunitas yang dikorbankan adalah ketertinggalan
wilayah lain, utamanya adalah wilayah perdesaan. Desa yang mayoritas
mengandalkan sektor ekonomi primer/tradisional (pertanian dalam arti luas)
justru termarjinalkan oleh kebijaksanaan ekonomi moderen.
Efek pertumbuhan di perkotaan, mendorong warga desa—yang
produktif—, berpikir realistis: mengadu nasib ke kota (urbanisasi). Praktis,
tenaga produktif desa yang merupakan motor penggerak pembangunan desa lenyap.
Beberapa penelitian juga menemukan fakta kurang berkembangnya kesempatan kerja
dan rendahnya produktivitas kerja di sektor ekonomi pedesaan berdampak
mengalirnya tenaga kerja usia muda terdidik ke wilayah perkotaan (Spare and
Haris, 1986; Manning 1992). Salah satu penyebab lambannya peningkatan
produktivitas tenaga kerja adalah lambanya peningkatan upah riil buruh
pertanian (Manning dan Jayasuria, 1996 ; White, 1992) atau mengalami stagnasi,
sementara itu upah riil non tani terus mengalami penurunan (Erwidodo dkk,
1993).
Kondisi demikian akhirnya hanya menyisakan angkatan kerja
yang belum layak kerja atau tak punya keterampilan memadai. Sektor ekonomi yang
tidak didukung sarana dan tenaga kerja memadai, praktis pula hanya menghasilkan
produktivitas (nilai tambah) yang kecil dan menimbulkan kemiskinan. Sudah
mafhum, bahwa realitas kemiskinan di negara ini direpresentasikan di perdesaan.
Umumnya mereka menjadi petani buruh atau pekerja serabutan di luar pertanian.
Banyak juga dari mereka jadi pekerja bebas (self employed), melakukan apa saja
untuk bertahan hidup. Dengan kondisi demikian—keterampilan dan lapangan kerja
sangat limited—, maka upah sangat rendah.
Desa dan Hegemoni Sistem Kapitalis
Sistem ekonomi kapitalis yang menjadi tools pembangunan
modern khususnya di perkotaan sekarang ini, sejujurnya—disadari atau
tidak—menghambat perkembangan desa. Desa hanya dijadikan wilayah penjajahan
gaya baru di mana segala potensinya (hasil alamnya) digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat kota melalui transaksi perdagangan.
Serupa yang dikatakan Sri Edi Swasono, “Ekonomi rakyat yang low cost mendukung
(mensubsidi) ekonomi besar di atasnya yang high-cost” (Lihat “Pembangunan
Menggusur Orang Miskin, Bukan Menggusur Kemiskinan –
http://www.ekonomirakyat.org).
Harus kita sadari, ketertinggalan pembangunan di perdesaan
muncul dari kekecewaan juga kecemburuan masyarakat perdesaan terhadap
moderennya kota. Inilah mengapa banyak sekali program-program pemerintah yang
kurang mendapat perhatian. Lantas, bisakah dengan keadaan demikian pembangunan
desa akan berhasil?
Idealnya, harus ada sebuah keseimbangan antara pembangunan di
perkotaan (urban) dan pembangunan di perdesaan (rural), terutama sekali juga
antara pembangunan sektor industri dan sektor pertanian. Istilah pertanian
tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan
perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan
kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani.
Strategi Membangun Desa: Fakta Empiris dan Kegagalannya?
Jika dilihat secara empiris. Pemerintah sejak era Orde Baru
(Pelita IV), sebenarnya telah mendorong sebuah program yang sangat baik:
Penempatan Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan (S-P3). Pemerintah sudah
menerjunkan lebih dari 4000-an sarjana ke desa dengan harapan mereka dapat
menjadi motivator, menciptakan lapangan kerja, menyuluh warga desa, mendidik
warga terkait industri rumah tangga, sampai kepada pemasaran hasil pertanian,
perkebunan, dan perikanan. Kelemahan dari program ini karena para sarjana yang
dikirimkan ke desa justru enggan. Hal ini disebabkan, rendahnya upah kerja yang
terdapat di perdesaan dan faktor psikologis lulusan sarjana yang umumnya
“gengsi” bekerja di desa. Akibatnya para sarjana yang semula diharapkan
menggerakkan pembangunan desa justru kembali berurbanisasi ke kota (back to
urban).
Pemerintah juga menggadang-gadang program Inpres Desa
Tertinggal (IDT), sekitar awal tahun 1993. Semacam upaya dari pemerintah untuk
membangun secara “spontan” desa-desa yang tertinggal. Tujuannya untuk memutus
arus lingkaran setan kemiskinan, dengan pemberian bantuan modal dan proses
perubahan (transformasi struktural) lingkungan orang-orang miskin di perdesaan.
Diharapkan program IDT ini menjadi stimulan atau perangsang kegiatan
pemberdayaan ekonomi desa ke tahap yang lebih maju.
Kegagalan program IDT ini disebabkan terlalu fokus kepada
variabel ekonomi. Melalui pendekatan ekonomi yang berkisar soal pemberian
pinjaman uang/bantuan fisik. Tanpa melihat kesiapan warga, pemahamannya, dan
pengawasannya. Variabel lain yang sebenarnya turut berperan seperti nilai
moral, sikap budaya, kondisi politik, dan kelembagaan, justru kerap
dikesampingkan. Akibatnya, masyarakat tidak mampu mendinamisasikan segenap
potensinya. Strategi yang tepat adalah terlebih dahulu membangun sikap dan
pemahaman (character building) masyarakat desa melalui program non-ekonomi seperti
sosial kultural dan infrastruktur.
Pendekatan Relevan Membangun Desa
Penulis merasa yakin bahwa membangun desa harus dimulai dari
perubahan paradigma. Desa jangan diidentikkan suatu entitas yang “senantiasa”
tertinggal dalam segala hal. Persepsi desa tertinggal, harus diubah menjadi
desa yang memiliki segenap potensi, masyarakat yang punya semangat kemajuan.
Desa perlu dimoderenisasi, namun tidak meninggalkan nilai-nilai budaya
tradisional dan kearifan lokal (local wisdom).
Desa yang moderen tampak dari tersedianya sarana-prasarana,
infrastruktur, dan akses dasar yang menunjang masyarakatnya memiliki
kapabilitas untuk hidup dengan kualitas lebih baik dan dapat mengaktualisasikan
segenap potensinya. Masyarakatnya secara umum memiliki tingkat pendapatan yang
mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan, seperti pangan, kesehatan dan
gizi, pendidikan, perumahan dan lingkungan hidup atau dengan kata lain kuat
dari segi ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan dan politik.
Pembangunan desa juga merupakan pembangunan masyarakatnya
(community development). Sehingga fokus pembangunan lebih diarahkan pada
peningkatan kualitas mutu manusia yang berdiam di desa. Utamanya adalah
meningkatkan pelayanan pendidikan (dasar dan menengah) dan pelayanan kesehatan
(gizi).
Wilayah perdesaan yang selama ini juga sangat kental dengan
sektor pertanian sebagai urat nadi penggerak perekonomian, sebaiknya
dimodifikasi dengan pembaharuan teknologi. Modifikasi bukan berarti mengganti
sektor ini ke sektor lain yang lebih “menjanjikan”, tetapi menjadikan sektor
ini lebih berorientasi ke bisnis (agribisnis) berbasis technology oriented
sehingga produktivitas mengalami peningkatan.
Salah satu contoh pendekatan pembangunan perdesaan di sektor
pertanian (sub-sektor peternakan) adalah Program Sarjana Membangun Desa (SMD).
Kementerian Pertanian RI, melalui Direktorat Jenderal Peternakan. Program SMD
ini merupakan pemberdayaan kelompok peternak yang akan melalui pendampingan
kelompok sekaligus penyaluran dana penguatan modal usaha. Tujuan program ini
untuk memperkuat modal usaha, sarana dan prasarana dalam mengembangkan usaha
peternakan; meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan peternak;
meningkatkan kemandirian dan kerja sama kelompok; mendorong tumbuh dan
berkembangnya pelaku agribisnis muda dan terdidik pada usaha peternakan;
mengembangkan sentra-sentra kawasan usaha peternakan. Adapun sasaran
pelaksanaan kegiatan Sarjana Membangun Desa Tahun 2010 ditargetkan 700 Sarjana
dan 700 Kelompok.
Pada tingkat mikro, ketersediaan tenaga kerja di perdesaan
hendaknya terus diberdayakan dalam suatu wadah yang dapat mengoptimalkan sumber
daya yang ada dan didukung oleh pembangunan pertanian yang spesifik lokasi dan
mempunyai daya saing yang tinggi, serta pengembangan sektor non-pertanian yang
berbasis ekonomi kerakyatan. Dalam bidang ekonomi, usaha dan pekerjaan masyarakat
diarahkan pada peningkatan local productivity secara kontinyu, sehingga mampu
menciptakan keuntungan dan meningkatkan tabungan masyarakat di pedesaan. Dalam
hal ini, penguasaan teknologi dan keterampilan oleh masyarakat dapat dijadikan
sebagai modal dasar dalam pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kondisi sosial pada
wilayah perdesaan.
Namun demikian, pembangunan pertanian di perdesaan dengan
basis agribisnis ini juga tidak perlu berlebihan. Karena akan berakibat
berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan
buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang
kegiatannya tidak merupakan bisnis. Keberadaan mereka ini masih banyak sekali,
dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan
pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian.
Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala
sesuatu yang harus dihitung keuntungan dan kerugiannya, efisiensinya, dan sama
sekali tidak memikirkan keadilan dan moral manusianya. Pembangunan pertanian
harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi
kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung
di perdesaan.
Indonesia merupakan negara kepulauan di mana ada lima pulau
besar yang menghuni wilayahnya yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan
Papua. Karakteristik dan potensi dari wilayah tersebut tentu saja memiliki
“keunikan” tersendiri khususnya wilayah perdesaannya. Karena itu, pembangunan
perdesaan di Indonesia sebaiknya tidak digeneralisasi, tetapi dispesifikasikan
sesuai dengan kondisi wilayah perdesaan masing-masing. Karena berbeda pulau,
berbeda karakter.
Diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang pembagian
kewenangan pusat dan daerah, menandai dimulainya kewenangan daerah secara
otonom dalam membangun daerahnya. Salah satu cara atau pendekatan yang dapat
digunakan oleh pemerintah daerah dalam membangun wilayah perdesaan adalah
melibatkan seluruh stakeholder daerah, mengingat kemampuan pemerintah
daerah—khususnya keuangan— sangat terbatas. Misalnya bekerjasama dengan
sejumlah perusahaan besar untuk mengoptimalkan penggunaan dan pengawasan
dana-dana corporate social responsibility (CSR) khususnya yang ditujukan bagi
pembangunan wilayah perdesaan.
Program kerja sebaiknya difokuskan pada pemberdayaan dan
perbaikan ekonomi rakyat yang diawali perubahan pola pikir masyarakat
(manusia), karena akan langsung mempengaruhi perbaikan kondisi kesejahteraan
sosial secara umum. Indikatornya adalah peningkatan pendapatan perkapita. Untuk
melakukan usaha perbaikan ekonomi masyarakat, pemerintah perlu secara rinci
fokus kepada program yang jelas berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi dan
perbaikan status sosial masyarakat perdesaan di daerahnya. Jadi di masa
mendatang, sasaran pembangunan pemerintah daerah pada wilayah pedesaan
hendaknya difokuskan pada tiga determinan pokok, yaitu pertumbuhan ekonomi,
peningkatan kualitas pendidikan dan status kesehatan.
*) Zamruddin Hasid,
Guru Besar Kebijakan Pembangunan Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas
Mulawarman.
Kirimkan Saran anda Untuk NTT Melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........
Kirimkan Saran anda Untuk NTT Melalui Email Kristo Blasin......marselinasintasayang@yahoo.com.........
No comments:
Post a Comment
Pesan Dan Saran Sangat saya Harapkan, Jangan Ragu berikan respon anda !, Saya mengucapkan terima kasih banyak